Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Jalan Puisi: Sesrawungan Penyair Yogyakarta

17 Juni 2023   21:51 Diperbarui: 18 Juni 2023   07:43 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bintang Tamu Laretna/Foto: Hermard

Mengapa Jalan Puisi?
Antologi ini diberi judul Jalan Puisi, karena sejak muda para penyair ini melewati jalan puisi, dengan lika-liku yang dialami, dan di kemudian hari, ada banyak jalan lain yang juga dilewati. Jalan lain itu membuat hidupnya lebih nyaman, namun jalan puisi tidak pernah ditinggalkan. Karena mungkin, jalan puisi adalah jalan pertama yang membuatnya menemukan kebahagiaan (pengantar Ons Utoro)

Komunitas Sastra Bulan Purnama (SBP), Sabtu (17/6/2023) meluncurkan buku antologi puisi Jalan Puisi di Museum Sandi, Yogyakarta. Acara ini merupakan tonggak bersejarah bagi para penyair dan sastrawan senior Yogyakarta setelah selama pandemi covid 19 mereka jarang sesrawungan (bertemu dan bertegur sapa dengan akrab). 

Atas inisiasi Sastra Bulan Purnama, Tonggak Pustaka, dan Sanggarragam, diterbitkan buku Jalan Puisi karya 14 penyair Yogyakarta kelahiran tahun 1950-an yang  aktif menulis dari tahun 1970-an sampai sekarang.

"Ternyata penyair seangkatan Fauzi Absal, terus aktif menulis. Saat dimintai karya, mereka langsung mengirim. Bahkan ada yang bersedia mengirim puluhan puisi. Mereka bagaikan padasan yang siap mengalirkan puisi," terang Ons Utoro, koordinator SBP, dalam obrolan di Limasan Somoatmajan beberapa waktu lalu.

Payung dan penyair Yogya/Foto: Hermard
Payung dan penyair Yogya/Foto: Hermard
Penyair dan sastrawan Yogyakarta yang berkarya pada tahun 1970-an merupakan generasi sastrawan Malioboro. Saat itu masih ada gedung Senisono di Titik Nol Yogyakarta dan kantor redaktur Pelopor Yogya di selatan perlintasan kereta api Malioboro. 

Senisono merupakan gedung kesenian yang sering digunakan untuk pertunjukan   dan diskusi sastra budaya. Biasanya selepas dari acara di Senisono, para sastrawan melanjutkan ngobrol, rerasanan, dan gegojekan di Malioboro dan beberapa mangkal di seputar kantor redaksi Pelopor Yogya. 

Tempat ini menjadi pusat tempat ngobrol karena ada sosok Umbu Landu Paranggi, redaktur sastra Pelopor Yogya yang dengan  kesuntukannya membaca, memberi komentar  puisi-puisi yang akan dimuat dalam rubrik Sabana. 

Bukan itu saja, ia adalah pengasuh Persada Studi Klub (PSK), tempat persemaian penyair Yogya. Dari sinilah muncul nama Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi, Suwarno Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Sutirman Eka Ardhana, dan lainnya. 

Orang-orang sastra begitu takzim terhadap Umbu karena ia adalah Presiden Malioboro yang diagungkan para pandemen sastra di Yogyakarta.

Buku Jalan Puisi didominasi oleh penyair lulusan PSK dan mereka yang mengenal Umbu, sebut saja misalnya  Fauzi Absal, Sutirman Eka Ardhana, Emha Ainun Najib, Marjuddin Suaeb, Mustofa W. Hasyim, Simon Hate,  dan Suminto A. Sayuti.

Dalam mengawali acara, Emha Ainun Nadjib menyampaikan keheranannya pada saat orang tidak lagi mementinglan makna dan nilai kehidupan, kok masih ada yang setia menulis puisi.

"Bagi saya hanya ada tiga kemungkinan orang tetap menulis puisi. Yaitu edan, kesepian, atau justeru mereka orang sejati, sejatinya orang," ujar Cak Nun yang disambut tepuk tangan hadirin.

Sesrawungan di Jalan Puisi/Foto: Hermard
Sesrawungan di Jalan Puisi/Foto: Hermard
Di samping itu, Cak Nun, lelaki yang mengaku berteman baik dengan Linus Suryadi, menghargai kerja Ons Utoro yang menghadirkan antologi Jalan Puisi dengan formula yang bebas dari bias-bias, tidak ada persyaratan aneh-aneh, selain penyair yang lahir pada tahun 1950-an.

Hal tak kalah menarik disampaikan Mustofa W. Hasyim, bahwa  mencipta puisi itu seperti perang dengan berbekal  peluru kata-kata. Penyair harus punya jurus-jurus silat agar tidak terkapar di panggung.

Penyair baca puisi/Foto: Hermard
Penyair baca puisi/Foto: Hermard
Sore yang mendung dan gerimis kecil tak menghalangi Fauzi Absal membaca puisi "Kodok Ngorek", Enes Pribadi "Kata-kata", Wadie Maharief "Tari Topeng", Krishna Mihardja "Balada Dua Gelas Kaca", disambung dengan pembacaan dari penyair lainnya.

Bintang Tamu Laretna/Foto: Hermard
Bintang Tamu Laretna/Foto: Hermard

Sesobek tiket ke kotamu/Foro: Hermard
Sesobek tiket ke kotamu/Foro: Hermard
Dua pembaca tamu yang tampil dengan baik dan mengesankan adalah Laretna T Adhisakti (seorang arsitek) membaca puisi "Di Celah-celah Perbukitan La Savoir" (Darwis Khudori) dan Wicahyanti Rejeki (guru) "Sesobek Tiket ke Kotamu" (Suminto A. Sayuti).

Begitulah, puisi mampu menjadi media sesrawungan di Sastra Bulan Purnama. Menyadarkan bahwa sastra tetap layak dirawat demi keutuhan nilai-nilai hakiki kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun