Tak bisa dipungkiri lagi bahwa saat ini di kota-kota besar dan kota kecil di Indonesia, terdapat banyak komunitas, dari komunitas yang biasa-biasa saja sampai komunitas antimainstream, misalnya komunitas Hong Kapanggih (perkumpulan permainan tradisional), Melantjong Petjinan Soerabaja (komunitas pecinta sejarah), Indonesia Graveyard (penyuka makam), Alon Mlampah (pejalan kaki), Portugal (komunitas para lansia), Banyu Bening (komunitas pecinta air hujan), dan masih banyak lainnya.Â
Biasanya komunitas terbentuk karena adanya kesamaan minat, kesenangan, sikap, dan kegemaran di antara beberapa individu yang kemudian membuat  wadah demi kebersamaan dalam mencapai tujuan tertentu bagi para anggota.Â
Masing-masing komunitas memiliki ciri dan kegiatan  yang membedakannya dengan komunitas lainnya.  Satu benang merah yang mengikat berbagai komunitas adalah bahwa keberadaan mereka bukan untuk hura-hura, melainkan menyalurkan rasa senang dalam kebersamaan meningkatkan kemampuan dalam teriakan: hore, kami bisa!
Membina dan Merawat Komunitas
Saat duduk di bangku SMP, SMA, dan awal semester kuliah, saya dengan senang hati menceburkan diri  terlibat dalam kegiatan OSIS dan  UKM Fakultas Sastra, mengurusi penerbitan majalah dinding dan buletin mahasiswa sastra Indonesia UGM.Â
Selanjutnya menerbitkan beberapa antologi puisi, mengadakan seminar tingkat nasional, dan mendirikan komunitas Watoni (waton muni -asal bunyi) bersama Mas Noer Indrijatno-ahli memainkan beberapa alat musik dan piawai mengaransemen lagu.Â
Kami berbagi tugas: Mas Noer mengaransemen lagu, mencari vokalis dan pemain musik, sedangkan saya menulis/menyiapkan puisi untuk dinyanyikan, menyusun jadwal latihan menjelang pentas. Keberadaan Watoni sempat eksis dalam mengisi acara-acara kemahasiswaan maupun fakultas.Â
Puncaknya mengisi acara di Gelanggang Mahasiswa UGM bersama Jamaah Shalahuddin (UKM kerohanian Islam dan lembaga dakwah kampus UGM), menghadirkan Neno Warisman.
Tantangan mengelola komunitas kemahasiswaan lebih terkait dengan penyusunan jadwal latihan karena harus menyesuaikan jam kosong kuliah. Apalagi Watoni berisikan mahasiswa bukan saja dari Fakultas Sastra, tetapi ada yang dari Fisipol dan Ekonomi. Meskipun demikian, dalam setiap latihan, kami menemukan semangat baru untuk terus menyemai kebersamaan dalam musik dan puisi.
Tahun 1999, saya mendirikan dan mengelola komunitas Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta (SSIY), menampung siswa SLTA yang telah mengikuti program kegiatan Bengkel Sastra yang diadakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta, ditambah beberapa mahasiswa yang tertarik terhadap pembacaan karya sastra. Â
Program Bengkel Sastra merupakan program tahunan dengan melibatkan tiga puluh siswa SLTA dari berbagai wilayah di Yogyakarta. Mereka bertemu setiap hari Minggu selama sepuluh kali pertemuan untuk mengikuti pelatihan menulis dan membaca puisi, cerita pendek, naskah drama (pilihan materi tergantung panitia).
Dalam komunitas SSIY,  saya dan beberapa pengurus lainnya  memberikan pelatihan dan pendalaman pembacaan dan dramatisasi puisi. Komunikasi dilakukan dengan cair, tidak seperti di dalam kelas. Latihan dipenuhi guyonan untuk membangun kebersamaan.Â
Dalam komunitas ini tidak ada ikatan keanggotaan. Seseorang bisa bergabung dan keluar kapan pun. Meskipun begitu, setiap latihan setidaknya hadir sepuluh sampai lima belas orang. Â Terlebih jika akan pentas atau ada lomba (latihan membaca puisi sebelum mengikuti lomba).Â
Anggota komunitas SSIY berkesempatan pentas setahun sekali keluar kota/pulau dalam acara Jambore Sastra sebagai wakil dari Balai Bahasa Yogyakarta.Â
Kendala utama  terkait dengan pengaturan waktu latihan karena melibatkan siswa. Tentu saja latihan baru bisa dilakukan sore hari sepulang sekolah. Bahkan terkadang baru dimulai seusai magrib karena berberapa siswa yang menjadi anggota harus mengikuti les atau mewakili sekolah dalam kegiatan di luar sekolah mereka.Â
Kebersamaan dalam SSIY semakin terlihat saat bedah naskah, reading play, dan casting. Semua boleh berpendapat, memberi usulan, bahkan siapa pun diperbolehkan memimpin latihan (tidak tergantung senioritas).Â
Begitulah saat akan mementaskan dramatisasi puisi "Nyanyian Angsa" (Rendra)-bercerita mengenai pengakuan dosa Maria Zaitun-semua dirancang  bersama. Dalam pemenuhan estetika pertunjukan dan dramatika konflik, misalnya; saat reading play dan casting, ada anggota yang mengusulkan menghilangkan deskripsi di bagian tertentu, tokoh Maria Zaitun dimainkan tiga orang yang mewakili sosok yang terus bergerak (moving), suara hati), dan tokoh yang diam di tempat (freeze).Â
Semua usulan itu dipertimbangkan dan diuji coba saat latihan. Dalam casting pun semua yang terlibat pementasan mencoba berbagai peran sampai dicapai kesepakatan bersama.
Tanggal 9 Oktober 2022, bersama beberapa praktisi kepenulisan: Eko Triyono, Sholeh UG, Latief Noor Rochmans, Ahmad Zamzuri, kami mendirikan komunitas Semak Kata dengan kegiatan membekali penulis muda untuk berkiprah dalam dunia kepenulisan.Â
Dalam setiap pertemuan sebulan sekali, didiskusikan berbagai kiat penulisan  featur, artikel,  cerita pendek, dan proses kreatif penulisan.Â
Anggota komunitas kurang lebih dua ratus penulis berasal dari kegiatan pelatihan kepenulisan yang diadakan oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) DIY. Fasilitasi dari DPAD, memungkinkan kami mengadakan workshop kepenulisan sebulan sekali di Jogja Liberary Center, Malioboro. Di samping itu, diskusi dilakukan lewat WhatsApp grup Semak Kata atau google meet.Â
Merawat komunitas Semak Kata dilakukan melalui berbagai lomba  berhadiah buku atau pertemuan langsung dengan para mentor.
Keunikan dalam Komunitas
Meskipun dari luar komunitas terlihat tampak baik-baik saja, tetapi di dalamnya pasti ada keunikan, "keambyaran", terutama berkaitan dengan sikap anggota. Â Ada saja anggota yang nyeleneh, egois, cari perhatian, dan merasa orang paling penting, sehingga anggota lain harus memaklumi kalau dalam pertemuan selalu cari tebengan, minta dijemput, apa-apa harus menjadi nomor satu.
Tipe anggota semacam ini selalu  membuat masalah karena merasa lebih baik, tidak mau disepelekan, merasa serba tahu mengenai semua permasalahan dalam komunitas; meskipun ia hanya anggota biasa.
Pada awalnya, demi kebersamaan, semua anggota komunitas memaklumi situasi ini. Tetapi jika "keambyaran" Â terus berlanjut, pelan-pelan ia akan disingkirkan dan ditinggalkan anggota lain. Mau tidak mau, dalam komunitas akan terjadi seleksi alam terhadap anggotanya demi kenyamanan bersama.
Pada akhirnya, merawat sebuah komunitas adalah menjaga kebersamaan dengan saling asah, asuh, dan asih. Anggota komunitas bersama-sama meningkatkan keterampilan dalam suasana saling memahami, berbagi, dan merasa handarbeni terhadap komunitas yang dibangun bersama. Dari sinilah sebuah komunitas akan bermanfaat bagi seluruh anggotanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H