Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Serabi Notoayu: Legitnya Keramahan di Utara Pasar Cebongan

7 Juni 2023   16:39 Diperbarui: 9 Juni 2023   14:18 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkan Anda merasakan sensasi menikmati makanan tradisional sambil menyaksikan proses pembuatannya secara langsung? Terlebih makanan itu dimasak  menggunakan peralatan tradisional menyerupai wajan kecil terbuat dari tanah liat? 

Kalau memang belum pernah merasakan sensasi itu, cobalah sesekali mampir ke warung  serabi Notoayu di Jalan Purbaya, utara pasar Cebongan, Sumberadi, Sleman, Yogyakarta. 

Kedatangan pelanggan selalu disambut keramahan  Bu Sumarmi alias Mamik (53) dan Pak Sarwiyono (58) yang  setia menjaga warung persis  di depan SD Negeri Gabahan.

"Mangga Bu, Pak, pinarak lebet- silakan Bu, Pak, duduk di dalam," sambut  Bu Mamik saat saya bersama ibu negara Omah Ampiran singgah mencari buah tangan. 

Melayani pelanggan/Foto: Hermard
Melayani pelanggan/Foto: Hermard
Di dalam warung disediakan kursi bambu panjang (lincak) yang nyaman diduduki. Pasangan ini dengan bersungguh-sungguh menawari serabi panas yang sudah tersedia. 

"Mangga dikedapi, saestu. Sinambi nenggo. Mboten dietang, kagem peseduluran -- silakan dicicipi, sambil menunggu, tak perlu dibayar, sebagai tanda persaudaraan," pinta Bu Mamik.

Keramahan mereka berdua bukan basa-basi. Bahkan Pak Sarwiyono  dengan sungguh-sungguh berharap agar pelanggan bersedia mencicipi serabi buatannya. 

Wajan serabi/Foto: Hermard
Wajan serabi/Foto: Hermard

Selalu cekatan/Foto: Hermard
Selalu cekatan/Foto: Hermard
Lelaki berdarah Solo itu cekatan menyerok serabi yang baru saja matang dari wajan tanah liat. Sehari-harinya ia berhadapan dengan lima belas wajan untuk memasak serabi.

"Mangga Pak diicipi. Saestu-mari Pak dicicipi, jangan sungkan," desak Pak Sarwiyono. 

Tentu saja saya tak mampu menolak tawaran ketiga kalinya. Bu Mamik menyodorkan  serabi rasa orisinal dengan aroma wangi pandan  yang kemudian diletakan di potongan daun pisang. Rasa manis gurihnya begitu nikmat. 

Serabi original tidak memakai tambahan apa pun dalam proses pembuatannya. Meskipun memiliki tekstur  padat, namun tetap terasa lembut dalam gigitan.

Siapa tak suka serabi?/Foto: Hermard
Siapa tak suka serabi?/Foto: Hermard
Serabi merupakan kue basah kenyal, berbentuk bundar, berkerak di sisi pinggirnya, mempunyai rasa gurih dan manis. Komposisi bahan yang digunakan  cukup sederhana, terdiri dari  tepung beras, air, gula, santan kelapa, dan garam. Ada pula yang memberi tambahan vanili dan daun pandan sebagai penyedap aroma.  

Menurut cerita, serabi merupakan jajanan tradisional Indonesia.  Diperkirakan sudah dikenal sejak zaman kerajaan Mataram. Keberadaan serabi tersurat dalam Serat Centhini karya pujangga keraton Surakarta  tahun 1814-1823 atas perintah Pakubuwana V.

Setelah matang, serabi digulung menggunakan daun pisang. Dulu hanya dikenal serabi polosan (original). Sekarang, serabi tampil dengan berbagai varian toping.  

Warung serabi Notoayu  dirintis sejak tahun 2017. Sebelum itu,  berbagai usaha dilakoni pasangan suami isteri Sarwiyono: jualan pecel lele, buka konter HP, dan lainnya. Setelah semua gagal, anak menantu yang pernah bekerja sebagai kasir di toko serabi Solo, mengusulkan  membuka usaha rumahan serabi tradisional Solo. 

Pasangan suami isteri itu lalu mengontrak ruang usaha di utara pasar Cebongan. Ruang usaha yang dipakai sekarang ini merupakan kontrakan baru, tidak jauh dari tempat yang lama. Usaha ini sekaligus merupakan cara agar  Sarwiyono  terus bergerak sebagai terapi agar tidak nglokro dengan penyakit syaraf kejepit yang sudah dideritanya selama sembilan tahun.

"Bapak yang mempunyai semangat terus berjualan. Bahkan terkadang tidak mau dibantu. Inginnya mengerjakan segala sesuatu sendirian," jelas Bu Mamik.

Awalnya hanya memproduksi serabi dengan dua sampai tiga kilo beras. Sekarang rata-rata tujuh sanpai sembilan kilo dalam sehari. Pada akhir pekan selalu ramai pembeli. Tersedia enam varian rasa: original, keju, cokelat, kacang, gula aren, dan oreo. Harga per dus antara lima belas sampai dua puluh ribu rupiah. 

Buka sejak pagi buta/Foto: Hermard
Buka sejak pagi buta/Foto: Hermard
Warung serabi Notoayu sudah buka mulai pukul dua pagi buta untuk melayani pedagang  pasar Cebongan. Demi menjaga kualitas rasa, Bu Mamik dan Pak Sarwiyono tak pernah memakai tepung beras instan. Mereka memproduksi tepung dengan beras pilihan yang nantinya dicampur dengan santan kelapa kental. 

Tak heran jika usaha serabi tradisional Solo yang dikerjakan bersama anak menantunya sudah membuka cabang di Jalan Kaliurang, Godean, dan Condongcatur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun