makanan tradisional sambil menyaksikan proses pembuatannya secara langsung? Terlebih makanan itu dimasak  menggunakan peralatan tradisional menyerupai wajan kecil terbuat dari tanah liat?Â
Pernahkan Anda merasakan sensasi menikmatiKalau memang belum pernah merasakan sensasi itu, cobalah sesekali mampir ke warung  serabi Notoayu di Jalan Purbaya, utara pasar Cebongan, Sumberadi, Sleman, Yogyakarta.Â
Kedatangan pelanggan selalu disambut keramahan  Bu Sumarmi alias Mamik (53) dan Pak Sarwiyono (58) yang  setia menjaga warung persis  di depan SD Negeri Gabahan.
"Mangga Bu, Pak, pinarak lebet- silakan Bu, Pak, duduk di dalam," sambut  Bu Mamik saat saya bersama ibu negara Omah Ampiran singgah mencari buah tangan.Â
Di dalam warung disediakan kursi bambu panjang (lincak) yang nyaman diduduki. Pasangan ini dengan bersungguh-sungguh menawari serabi panas yang sudah tersedia.Â
"Mangga dikedapi, saestu. Sinambi nenggo. Mboten dietang, kagem peseduluran --Â silakan dicicipi, sambil menunggu, tak perlu dibayar, sebagai tanda persaudaraan," pinta Bu Mamik.
Keramahan mereka berdua bukan basa-basi. Bahkan Pak Sarwiyono  dengan sungguh-sungguh berharap agar pelanggan bersedia mencicipi serabi buatannya.Â
Lelaki berdarah Solo itu cekatan menyerok serabi yang baru saja matang dari wajan tanah liat. Sehari-harinya ia berhadapan dengan lima belas wajan untuk memasak serabi.
"Mangga Pak diicipi. Saestu-mari Pak dicicipi, jangan sungkan," desak Pak Sarwiyono.Â
Tentu saja saya tak mampu menolak tawaran ketiga kalinya. Bu Mamik menyodorkan  serabi rasa orisinal dengan aroma wangi pandan  yang kemudian diletakan di potongan daun pisang. Rasa manis gurihnya begitu nikmat.Â