Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sandiwara Berbahasa Jawa Terus Menggeliat

5 Juni 2023   18:52 Diperbarui: 10 Juni 2023   14:30 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reading Play/Foto: Hermard

Awal Cerita Sandiwara Berbahasa Jawa

Jika saja MAVRO (Mataramse voor Radio Omroep, berdiri 8 Februari 1934)-embrio lahirnya RRI Yogyakarta, tidak menyiarkan siaran ketimuran untuk menggelorakan semangat ketimuran dan sekaligus sebagai antitesa terhadap siaran dari NIROM (Nedrelansch Indische Radio Omroep Maatschappij) - Jawatan Radio Broadcast Hindia Belanda (memancarkan siaran  menggunakan bahasa Belanda), mungkin saja  sandiwara radio berbahasa Jawa tidak akan pernah ada.

Berkibarnya sandiwara radio berbahasa Jawa di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan  dari kerja keras Sumardjono yang bertindak sebagai penulis naskah, sutradara dan pemain lewat RRI Yogyakarta pada tahun 1965.

Belakangan ini, Dinas Kebudayaan DIY juga menaruh kepedulian terhadap keberadaan sandiwara radio berbahasa Jawa. Sejak tahun 2019 sampai sekarang, secara berkala Disbud DIY menyelenggarakan workshop dan lomba penulisan naskah audio/radio berbahasa Jawa untuk masyarakat umum. Naskah para pemenang diproduksi dan disiarkan/ditayangkan melalui radio swasta, YouTube, dan Sportify.

Satu lagi komunitas yang  peduli terhadap sandiwara berbahasa Jawa adalah Kelompok Sedhut Senut (KSS) yang tidak bosan-bosannya mementaskan dan mengembangkan sandiwara berbahasa Jawa. KSS merupakan kelompok sandiwara berbahasa Jawa, awalnya bernama Komunitas Sego Gurih. Berdiri pada tahun 1998 di SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Yogyakarta. 

Tidak mengherankan jika pada awalnya anggota KSS didominasi siswa jurusan teater SMKI Yogyakarta. Mereka sering "mbarang" keliling keluar sekolah di acara-acara pernikahan, perpisahan,  acara tujuh belasan, atau pentas di pinggir sawah. 

Saat pandemi covid 19, KSS vakum tanpa kegiatan berarti. Sampai akhirnya  mendapat kesempatan memproduksi tayangan online dibiayai oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Komunitas Maton dan Festival Milangkori

Jumat malam (2/1/2023), saya dan beberapa teman praktisi sastra: Krishna Mihardja (sastrawan Jawa), Ons Utoro (penggiat Sastra Bulan Purnama), Dhanu Priyo Prabowo (pengamat sastra), Fauzi Absal (penyair), Syam Chandra (penyair), Bayu Saptama (praktisi kethoprak), Patah Anshori (pendiri teater Maton), mendapat undangan dari Mas Agus Suprihono untuk hadir di Limasan Somoatmajan, Margokaton, Seyegan, Sleman. 

Semula kami berpikiran acara itu merupakan syukuran   atas kemenangan Agus Suprihono mengikuti sayembara penulisan naskah radio berbahasa Jawa tahun 2023 yang diadakan Dinas Kebudayaan DIY. 

Kemenangan tersebut bukanlah kemenangan pertamanya. Lelaki yang dikenal sebagai penggiat seni di Margokaton (koordinator kethoprak Mataram Dwi Muda Budoyo dan karawitan Arum Sari), setia mengikuti sayembara tersebut, meskipun naskahnya tidak selalu menjadi pilihan dewan juri karena tersingkir di babak seleksi. 

Gaya seniman Margokaton/Foto: Hermard
Gaya seniman Margokaton/Foto: Hermard
Setiba di Limasan Somoatmajan, Agus berada di antara beberapa anggota Komunitas Maton yang duduk melingkar sambil membawa naskah sandiwara berbahasa Jawa "Sri Dhemek". 

Ia lalu bercerita soal keinginan mementaskan lakon sandiwara berbahasa Jawa itu dalam rangka Festival Milangkori-festival sandiwara berbahasa Jawa yang didanai  Kemendikbudristek. Festival tersebut diadakan oleh KSS, diperuntukan bagi delapan kelompok pementas.

Baginya, meskipun membela kesenian tradisional selalu tombok, tapi rasa cinta dan handarbeni terhadap kesenian Jawalah  yang membuatnya bersemangat, terlebih ia mendapat dukungan dari Ons Utoro (penggerak Sastra Bulan Purnama). Ia pun rela "berdarah-darah" agar dapat ambil bagian dalam Festival Milangkori.

Perjuangannya dimulai pada tanggal 21 Maret 2023 saat mendapat telepon  Mas Komeng dari KSS yang memberi informasi jika peserta festival terbatas, kuota sudah penuh. 

Penulis cerpen "Dinda Kekasih Masa Laluku" (antologi Cerita Tentang Kawan, 2023) diminta menunggu kalau-kalau ada peserta yang mundur atau tidak memenuhi syarat  ketentuan  festival. 

Setiap kelompok peserta yang sudah mendaftar wajib mengikuti workshop pemeranan dan illustrasi musik selama sepuluh kali. Jika satu kali saja absen, maka peserta didiskualifikasi.

Ternyata pada hari keempat, ada peserta yang didiskualifikasi.  Mas Komeng kembali menghubungi  agar hari itu kelompok Maton (pimpinan Agus Suprihono) mengikuti  workshop pemeranan dan  illustrasi musik. 

Sutradara lakon "Pedhut ing Pereng Sumbing" menjadi kalang kabut karena hari itu merupakan hari pertama bulan Ramadhan. Beruntung anggota termuda Maton, Putri dan Afifah, bersedia menghadiri workshop tersebut.  Mereka berdua berhasil mengikuti sisa workshop  hingga uji pentas di Museum Tani Jawa, Imogiri. 

Reading Play/Foto: Hermard
Reading Play/Foto: Hermard

Saran bagi pemain Maton/Foto: Hermard
Saran bagi pemain Maton/Foto: Hermard
Saat ini hal yang membuat ketar-ketir berlebihan, menyangkut waktu persiapan atau latihan. Rencana semula festival diselenggarakan  bulan Oktober 2023, namun kemudian ada pemberitahuan bahwa kerjasama KSS dengan Kemendikbudristek berakhir pada 31 Agustus 2023, maka festival diajukan menjadi bulan Juli antara tanggal 9 -- 22 Juli. 

Pusing karena naskah baru saja selesai diketik ulang. Naskah aslinya terlalu banyak tanda baca di setiap paragraf sehingga  membingungkan pemain. Perubahan itu menyebabkan semua persiapan dilakukan dengan terburu-buru, grobyakan. Padahal Maton harus siap tempur karena festival ini bersifat kompetitif, disediakan dana stimulan untuk masing-masing peserta dari KSS. 

Di samping itu ada hadiah berupa uang pembinaan dengan total enam puluh juta rupiah yang akan diperebutkan oleh Komunitas   Tombo Kangen (Gunungkidul), Teater Menggleng (Gunungkidul), Teater Kawat (Bantul), Kelompok Tani Maju (Sleman), Komunitas Maton (Sleman), Paguyuban Entertainment Kulonprogo, Sanggar Wani Isin  (Kota Yogyakarta), dan Teater Gunung Sewu (Gunungkidul). Mereka harus mampu menafsirkan naskah/lakon "Sri  Dhemek" sekreatif mungkin. Naskah ini bercerita keinginan Sri Dhemek membuka usaha bank plecit di kampungnya.

Kesertaan Komunitas Maton merupakan sarana untuk menumbuhkembangkan pementasan sandiwara berbahasa Jawa.

Sebenarnya Agus Suprihono tidak perlu cemas terhadap penampilan Komunitas Maton di Festival Milangkori karena dalam  reading play di Limasan Somoatmajan,  para pemain sudah memahami "apa maunya" naskah. 

Ini merupakan modal para pemain  dapat mengembangkan suasana, alur, dan tokoh kedalam dunia panggung. Mereka akan memahami dan menyiasati momentum yang ada dalam "Sri Dhemek".  Tentu saja di sisi  lain, memerlukan proses persiapan penyutradaraan yang mumpuni.

Sebagai penonton, saya membayangkan naskah "Sri Dhemek" dibawakan dengan gaya sampakan, mengalir, di sana sini ada guyonan ala Soimah atau Butet Kertaredjasa yang pandai bersilat lidah...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun