Pusing karena naskah baru saja selesai diketik ulang. Naskah aslinya terlalu banyak tanda baca di setiap paragraf sehingga  membingungkan pemain. Perubahan itu menyebabkan semua persiapan dilakukan dengan terburu-buru, grobyakan. Padahal Maton harus siap tempur karena festival ini bersifat kompetitif, disediakan dana stimulan untuk masing-masing peserta dari KSS.Â
Di samping itu ada hadiah berupa uang pembinaan dengan total enam puluh juta rupiah yang akan diperebutkan oleh Komunitas  Tombo Kangen (Gunungkidul), Teater Menggleng (Gunungkidul), Teater Kawat (Bantul), Kelompok Tani Maju (Sleman), Komunitas Maton (Sleman), Paguyuban Entertainment Kulonprogo, Sanggar Wani Isin  (Kota Yogyakarta), dan Teater Gunung Sewu (Gunungkidul). Mereka harus mampu menafsirkan naskah/lakon "Sri  Dhemek" sekreatif mungkin. Naskah ini bercerita keinginan Sri Dhemek membuka usaha bank plecit di kampungnya.
Kesertaan Komunitas Maton merupakan sarana untuk menumbuhkembangkan pementasan sandiwara berbahasa Jawa.
Sebenarnya Agus Suprihono tidak perlu cemas terhadap penampilan Komunitas Maton di Festival Milangkori karena dalam  reading play di Limasan Somoatmajan,  para pemain sudah memahami "apa maunya" naskah.Â
Ini merupakan modal para pemain  dapat mengembangkan suasana, alur, dan tokoh kedalam dunia panggung. Mereka akan memahami dan menyiasati momentum yang ada dalam "Sri Dhemek".  Tentu saja di sisi  lain, memerlukan proses persiapan penyutradaraan yang mumpuni.
Sebagai penonton, saya membayangkan naskah "Sri Dhemek" dibawakan dengan gaya sampakan, mengalir, di sana sini ada guyonan ala Soimah atau Butet Kertaredjasa yang pandai bersilat lidah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H