Dalam lingkaran tradisi, saat masyarakat melihat wanita merokok (mengkretek) di tempat umum, pasti akan dinilai sebagai wanita tidak tahu tatakrama, stres, nakal, perempuan tidak baik, bahkan dianggap sebagai wanita jalang.Â
Mereka lupa bahwa ketika ingin mengalahkan Wiraguna, perempuan miskin bernama Rara Mendut pun menghisap rokok sebagai representasi keberanian melawan laki-laki. Cynthia Lilipaly (2012) menuliskan  bahwa Rara Mendut bukanlah seseorang dengan ilmu bela diri yang tinggi hingga dapat mengalahkan  Wiraguna dalam dua atau lima kali serangan. Dengan merokoklah ia mengalahkan kewenangan Wiraguna.
Dalam dunia modern, wanita merokok bukan lagi sebuah tabu, tidak mencerminkan kenakalan. Terlebih bentuk rokok dikamuflase menjadi perangkat elektrik penuh gaya, mudah digenggam tangan atau dikalungkan ke leher.Â
Kamuflase  ini sekaligus menjauhkan stigma negatif wanita perokok karena kehadiran mereka tanpa ada selipan batang rokok, hanya sesekali menghisap benda menyerupai pulpen. Selain itu, orang di sekitar pun tidak lagi akan melihat bungkus rokok dengan gambar paru-paru membusuk atau tulisan "mengerikan": rokok menyebabkan impotensi, rokok merusak rahim perempuan bersama janin yang dikandungnya, rokok bisa menyebabkan kanker, atau rokok menyebabkan cacat lahir pada anak.
Begitulah, regulasi  mengenai dunia rokok, bisa jadi akan meminggirkan sejarah panjang tembakau, cengkeh, dan harum asap kretek. Semua itu akan tergantikan dengan cerita mengenai kehebatan Herbert A. Gilbert dengan paten a smokeless non-tobacco cigarette (1963) dan Hon Lik sebagai penemu perangkat rokok elektrik Ruyan (2003) yang kemudian berkembang menjadi vape.
Meskipun begitu, pergeseran rokok tradisional ke vape tidak mudah dilakukan semua orang. Seorang teman, Herlinatiens (penulis), lewat percakapan WhatsApss, menyatakan kadung suka dengan rokok  merk tertentu, dan tidak bisa berpaling dari merk itu. Pernah mencoba vape dan iqos, tapi tidak cocok.  Vape karena dia  uap, seperti shisha, jadi memicu batuk kalau  dihisap. Meskipun begitu, saya suka kalau ada teman ngevape dengan berbagai aroma.
Perempuan pelamun ini lebih memilih iqos ketimbang vape. Iqos merupakan tembakau dipadatkan, lalu  dibakar dengan alat elektrik. Minim asap dan filter untuk nikotinnya lebih rapat. Masalahnya, iqos agak ribet, habis dipakai musti masuk kotak dulu untuk isi daya, baru bisa dipakai lagi. Satu kali pakai paling hanya sebelas hisapan.
Baginya, vape penuh uap, kalau iqos nyaris tanpa asap. Iqos konon menurut penelitian lebih minim nikotinnya nyaris tidak ada. Cuma ya, baik ngevape maupun mengiqos, tidak seenak merokok...
Sementara itu, Putri (Freelancer designer) menyukai vape karena bisa sesuka hati dalam ngebull-nya. Tidak seperti merokok, begitu habis, harus menyalakan lagi. Rasa liquid vape-nya pun juga macam-macam. Ada yang buah, creamy, mint, dan lainnya. Tapi perempuan dengan tubuh semampai ini  lebih suka  rasa tobacco karena lebih klasik.
Kalau harga biasanya boros di liquid sama beli device. Harga liquid juga macam-macam, tapi lebih hemat dari beli rokok. Sekitar dua ratus ribu per bulan untuk untuk dua botol liquid. Di samping itu, Putri merasa tidak sungkan ngevape dimanapun. Berbeda kalau ngerokok, harus sembunyi-sembunyi.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah baik merokok maupun ngevape sama-sama tidak menguntungkan bagi kesehatan. Jadi, pertimbangkanlah dengan baik-baik saat Anda memutuskan untuk merokok maupun ngevape.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H