Saat membuka pintasan kenangan dalam Facebook, saya menemukan tulisan Mahatma Muhammad yang diforward oleh Mas Landung Simatupang, pendiri teater Stemka Yogyakarta, ke lini masa saya. Kenangan delapan tahun lalu itu menjadi penting karena masih memiliki kolerasi dengan cara membaca puisi di berbagai tempat dan senyampang kegiatan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional mulai bergulir.Â
Setidaknya tulisan Mahatma dan pembahasan kali ini penting sebagai pegangan bagi guru pendamping dalam "memberi petunjuk" atau pendampingan bagi siswa. Saya tampilkan lengkap kegelisahan Mahatma, pekerja seni asal Pariaman agar kita dapat merasakan kegusarannya setelah  selesai menjadi juri lomba baca puisi FLS2N tahun 2018 untuk SMP tingkat kabupaten.
Ungkapnya, meski tidak semua, tapi sebagian besar siswa, dari 47 peserta yang manis-manis saat menunggu giliran tampil, tiba-tiba ketika membacakan puisi menjadi beringas kesetanan, menghentak jingkrak sambil marah-marah, menangis teriak penuh beban, menunjuk menuding juri sambil melotot bak anak baru belajar jadi preman.Â
Seusai pembacaan mereka merasa hebat, karena sudah berhasil menjalankan instruksi guru atau pelatih dengan sempurna. Begitu, terjadi pengulangan dari tahun ke tahun, tidak hanya di sekolah, tapi juga perguruan tinggi dan tingkat umum.Â
Lomba baca puisi akhirnya jadi lomba pamer bentuk ketimbang isi, pamer siapa yang paling pandai marah, paling cepat kerasukan, paling hebat hentak-jingkrak, paling haru menangis dan pamer siapa yang paling berhasil membuat juri takut dengan menunjuk-nunjuk atau melotot.
Kekesalan pendiri dan sutradara teater di Komunitas Seni Nan Tumpah itu dapat dipahami karena hal serupa juga saya alami saat menjadi juri lomba baca puisi tingkat SD. Hampir semua peserta, kurang lebih dua puluh lima orang, dari awal membaca hingga akhir, tangan dan tubuh mereka terus bergerak tak menentu. Saya jadi berpikir, ini sesungguhnya lomba menari atau olahraga? Bahkan ada dua peserta meninggalkan teks puisi mereka di meja depan sesaat sebelum naik panggung.Â
Kasus lain  dilakukan siswa SMA, saat tampil ia over acting membaca sambil berguling-guling di lantai. Bahkan ada peserta perempuan sampai menangis termehek saat membaca puisi.
Seusai lomba baca puisi tingkat SD, saya sengaja menemui guru pendamping menanyakan mengapa dalam membaca puisi, hampir semua murid menggerakan tangan dan tubuh mereka sepanjang pembacaan puisi? Jawaban para guru di luar dugaan saya: Iya Pak, karena yang menjadi pemenang tahun lalu, cara membacanya seperti itu...
Dari beberapa kasus di atas, sebaiknya kita kembali mempertanyakan apa sesungguhnya hakikat fungsi dari karya sastra, mengapa para peserta lomba baca puisi di atas mempertunjukan cara baca yang "aneh" (setidaknya menurut saya)?
Secara umum, sastra mempunyai fungsi dulce et utile (Horatius), yaitu sangat menyenangkan dan berguna/mendidik. Artinya dalam konteks membaca puisi, seyogianya pembaca memberikan kesenangan  dalam diri pembaca dan melahirkan ketertarikan bagi audience (pendengar/penonton). Â
Di sisi lain, pembaca puisi dituntut dapat menyampaikan pesan yang terdapat dalam puisi yang dibacakan. Bukankah karya sastra (termasuk puisi), seperti pernah dikatakan Sarumpaet, bermaksud memberikan nasihat dan penanaman etika sehingga pembaca/audience dapat meneladani hal-hal positif dalam karya sastra. Dalam hal ini, sastra memampukan manusia menjadi lebih manusia: mengenal diri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan kehidupan.
Bagaimana nilai-nilai kemanusiaan dapat dipahami atau tersampaikan pembaca puisi kalau cara membacanya saja dengan cara berteriak, marah-marah, menunjuk-nunjuk dewan juri sambil melotot.Â
Memang membaca puisi berurusan dengan power atau kekuatan vokal, tetapi bukan berarti puisi harus dibacakan dengan cara/nada marah-marah. Power dalam vokalisasi lebih berurusan dengan bagaimana suara pembaca bisa terdengar jelas  ke seluruh ruangan. Artinya ini berkaitan dengan volume suara, tanpa harus berteriak.Â
Bayangkan saja saat kita nyanyi di kamar mandi, tanpa berteriak kita dapat mengatur volume suara agar tidak terdengar tetangga. Bahkan kalau harus terdengar sampai ruang tamu rumah sebelah, kita pun tidak harus menyanyi sambil marah-marah. Hal ini dilakukan agar orang lain menjadi nyaman saat mendengarkan kita bernyanyi.
Begitu pun kegiatan membaca puisi, kita tidak harus membuat telinga juri dan audience menjadi sakit dengan pembacaan yang ngawur, asal teriak. Ingat bahwa puisi merupakan karya sastra yang indah (estetik). Artinya, dalam pembacaannya pun kita harus mampu menciptakan keindahan itu lewat  dinamika vokalisasi agar pembacaan menjadi hidup, tidak monoton.Â
Langkah pembacaan yang baik dilakukan lewat apresiasi terhadap puisi yang hendak dibacakan, mengetahui bagian klimaks puisi, memberi tanda-tanda tertentu untuk bagian puisi yang harus dibaca cepat atau lambat, mana yang harus dibaca dengan nada naik atau turun, bagian mana yang harus dibaca panjang atau pendek, bagaimana persoalan moving dan gerakan yang akan diperlihatkan dalam pembacaan. Semua ini merupakan upaya dalam menciptakan harmonisasi keindahan dalam pembacaan puisi.Â
Jangan sampai saat kita membaca puisi, audience ngobrol sendiri-sendiri. Kalau ini sampai terjadi, berarti kita gagal dalam pembacaan, tidak berhasil menyampaikan pesan dalam puisi dan tidak mampu menciptakan harmonisasi pembacaan puisi.
Kasus menunjuk-nunjuk dewan juri saat pembacaan puisi memang tidak ada dalam peraturan. Namun secara etika, hal tersebut tidak pantas dilakukan. Persoalan siswa SD yang meninggalkan teks puisi, tentu merupakan kesalahan besar karena yang diikuti adalah lomba membaca puisi. Artinya harus ada teks yang dibaca. Kalau mengingat/menghafal puisi, itu ternasuk dalam ranah lomba deklamasi. Satu lagi, kasus pembaca puisi yang nangis termehek, jelas akan berpengaruh pada kualitas vokal dan akan mengurangi nilai. Kalaupun itu berurusan dengan penghayatan, Â sebaiknya penghayatan dilakukan secara terukur sehingga tidak merugikan pembaca.
Akhirnya, membaca puisi merupakan realisasi dari teks puisi ke dunia pembacaan dengan mempertimbangkan pesan dan harmonisasi pembacaan. Kegiatan membaca puisi  bukanlah adu gaya atau adu keras suara, tetapi merupakan upaya memahami puisi dengan memberikan sentuhan-sentuhan "ajaib" lewat pengolahan vokalisasi dan ekspresi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H