Bagaimana nilai-nilai kemanusiaan dapat dipahami atau tersampaikan pembaca puisi kalau cara membacanya saja dengan cara berteriak, marah-marah, menunjuk-nunjuk dewan juri sambil melotot.Â
Memang membaca puisi berurusan dengan power atau kekuatan vokal, tetapi bukan berarti puisi harus dibacakan dengan cara/nada marah-marah. Power dalam vokalisasi lebih berurusan dengan bagaimana suara pembaca bisa terdengar jelas  ke seluruh ruangan. Artinya ini berkaitan dengan volume suara, tanpa harus berteriak.Â
Bayangkan saja saat kita nyanyi di kamar mandi, tanpa berteriak kita dapat mengatur volume suara agar tidak terdengar tetangga. Bahkan kalau harus terdengar sampai ruang tamu rumah sebelah, kita pun tidak harus menyanyi sambil marah-marah. Hal ini dilakukan agar orang lain menjadi nyaman saat mendengarkan kita bernyanyi.
Begitu pun kegiatan membaca puisi, kita tidak harus membuat telinga juri dan audience menjadi sakit dengan pembacaan yang ngawur, asal teriak. Ingat bahwa puisi merupakan karya sastra yang indah (estetik). Artinya, dalam pembacaannya pun kita harus mampu menciptakan keindahan itu lewat  dinamika vokalisasi agar pembacaan menjadi hidup, tidak monoton.Â
Langkah pembacaan yang baik dilakukan lewat apresiasi terhadap puisi yang hendak dibacakan, mengetahui bagian klimaks puisi, memberi tanda-tanda tertentu untuk bagian puisi yang harus dibaca cepat atau lambat, mana yang harus dibaca dengan nada naik atau turun, bagian mana yang harus dibaca panjang atau pendek, bagaimana persoalan moving dan gerakan yang akan diperlihatkan dalam pembacaan. Semua ini merupakan upaya dalam menciptakan harmonisasi keindahan dalam pembacaan puisi.Â
Jangan sampai saat kita membaca puisi, audience ngobrol sendiri-sendiri. Kalau ini sampai terjadi, berarti kita gagal dalam pembacaan, tidak berhasil menyampaikan pesan dalam puisi dan tidak mampu menciptakan harmonisasi pembacaan puisi.
Kasus menunjuk-nunjuk dewan juri saat pembacaan puisi memang tidak ada dalam peraturan. Namun secara etika, hal tersebut tidak pantas dilakukan. Persoalan siswa SD yang meninggalkan teks puisi, tentu merupakan kesalahan besar karena yang diikuti adalah lomba membaca puisi. Artinya harus ada teks yang dibaca. Kalau mengingat/menghafal puisi, itu ternasuk dalam ranah lomba deklamasi. Satu lagi, kasus pembaca puisi yang nangis termehek, jelas akan berpengaruh pada kualitas vokal dan akan mengurangi nilai. Kalaupun itu berurusan dengan penghayatan, Â sebaiknya penghayatan dilakukan secara terukur sehingga tidak merugikan pembaca.
Akhirnya, membaca puisi merupakan realisasi dari teks puisi ke dunia pembacaan dengan mempertimbangkan pesan dan harmonisasi pembacaan. Kegiatan membaca puisi  bukanlah adu gaya atau adu keras suara, tetapi merupakan upaya memahami puisi dengan memberikan sentuhan-sentuhan "ajaib" lewat pengolahan vokalisasi dan ekspresi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H