Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Posisi Penyair dan Komunitas Sastra

7 Mei 2023   09:35 Diperbarui: 10 Mei 2023   17:00 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memperbincangkan Posisi Penyair/Foto: Hermard

Ada perasaan gamang saat ingin menetapkan posisi penyair di tengah masyarakat. Apakah posisi penyair hanya sebatas ide, sesuatu yang abstrak, tidak dapat ditentukan secara riil? Apakah benar puisi (dan penyair) posisinya semakin menggelisahkan karena tidak menyatu lagi dalam gerak masyarakat, penyair kian terkotak-kotak?

Begitulah kegelisahan yang menjalar dalam diskusi Sastra Bulan Purnama (6/5/2023) dengan topik "Posisi Penyair di Tengah Masyarakat". 

Diskusi mengahadirkan dua pematik pembicaraan, yaitu Simon Hate (tokoh teater, pemikir kebudayaan), dan Fauzi Absal (penyair), dimoderatori Indro Suprobo (penulis, editor), bertempat di Museum Sandi, Yogyakarta.

Di awal diskusi, Simon Hate, pria kelahiran 1954, mengakui peran penting Persada Studi Klub (PSK) bersama Umbu Landu Paranggi dalam perkembangan dan pengembangan perpuisian di Yogyakarta. 

Hanya saja catatan mengenai bagaimana Umbu Landu Paranggi menetapkan puisi mana yang baik dan mana yang tidak baik, tidak pernah kita temukan. 

Memperbincangkan Posisi Penyair/Foto: Hermard
Memperbincangkan Posisi Penyair/Foto: Hermard

Padahal itu penting dalam proses legitimasi seorang penyair, ujar seniman yang pernah terlibat dalam teater Dinasti. Juga dalam menjawab pertanyaan, mengapa Umbu mau bersusah payah ngopeni penyair, merawat puisi?

Sementara itu Fauzi Abzal, penyair dengan dua anak dan meyakini bahwa puisi tidak akan memberi kebahagian dari sisi ekonomi, menyatakan bahwa disadari atau tidak, komunitas adalah identik dengan upaya memposisikan penyair dan karyanya di tengah masyarakat. 

Simon Hate/Foto: Hermard
Simon Hate/Foto: Hermard

Dalam komunitas terjadi pergulatan yang dilandasi itikad dan jiwa dedikatif yang tinggi. Kebosanan dan kecil hati menjadi tantangannya. 

Di tangan para pengampu, puisi harus diciptakan dengan sepenuh hati, tidak bisa asal bunyi.
Apalagi asal curhat. Hal ini dilakukan agar puisi menemukan jalan sampai pada kesadaran memiliki masyarakat (handarbeni). 

Komunitas merupakan proses dialektika antara masyarakat dan penyair yang secara riil tidak memiliki posisi. 

"Posisi Penyair adalah posisi ide. Yang tak bosan-bosan penyair (melalui) komunitasnya tiada henti menawarkan pemikiran dan wawasannya terutama dalam dimensi estetika," jelas Fauzi.

Lebih jauh dipaparkan bahwa komunitas Persada Studi Klub (PSK), merupakan komunitas tertua yang pernah ada di Yogyakarta. 

PSK memanfaatkan tabloid mingguan Pelopor Yogya sebagai basis kegiatannya, media ekspresi sastra bagi anggotanya. Disusul kemudian kelompok Insani (harian Masa Kini), kelompok Renas (harian Bernas). Ini pada era tujuhpuluhan. 

Era berikutnyamuncul komunitas Studio Pertunjukan Sastra (SPS), komunitas Sastra Titik Nol, dan Sastra Bulan Purnama. 

Dari berbagai komunitas itu bermunculan tokoh-tokoh sastra: Umbu Landhu Paranggi, Mustofa W Hasyim, Sutirman Eka Ardhana, Hari Leo AR, dan Ons Untoro.

Diskusi santai di tengah hujan kota Yogyakarta sampai pada rerasanan bahwa posisi penyair atau sastrawan pada tahun 1970-an sampai 1980-an ditentukan oleh nama-nama besar, redaktur media massa, di samping memang seseorang memiliki proses kreatif panjang sehingga ia punya posisi tawar seperti Rendra dan Emha Ainun Nadjib.

Fauzi Abdul Salam/Foto: Hermard
Fauzi Abdul Salam/Foto: Hermard

Afnan Malay, tukang demo yang sudah banyak menulis puisi, yang hadir dalam diskusi, melontarkan gagasan bahwa tidak usahlah kita mencari-cari posisi.

"Meskipun saya sudah menghasilkan puluhan puisi, tetapi tidak diakui sebagai penyair oleh masyarakat sastra Yogya, ya tidak masalah. Nyatanya puisi saya masih laku dan dielu-elukan oleh teman-teman seperjuangan," ujarnya.

Diakuinya, kehidupan sastra di Yogya memang unik. Orang rela berkorban hanya untuk diakui sebagai penyair. Pernyataan ini mendapat pembenaran dari Ons Utoro dan peserta diskusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun