Komunitas merupakan proses dialektika antara masyarakat dan penyair yang secara riil tidak memiliki posisi.Â
"Posisi Penyair adalah posisi ide. Yang tak bosan-bosan penyair (melalui) komunitasnya tiada henti menawarkan pemikiran dan wawasannya terutama dalam dimensi estetika," jelas Fauzi.
Lebih jauh dipaparkan bahwa komunitas Persada Studi Klub (PSK), merupakan komunitas tertua yang pernah ada di Yogyakarta.Â
PSK memanfaatkan tabloid mingguan Pelopor Yogya sebagai basis kegiatannya, media ekspresi sastra bagi anggotanya. Disusul kemudian kelompok Insani (harian Masa Kini), kelompok Renas (harian Bernas). Ini pada era tujuhpuluhan.Â
Era berikutnyamuncul komunitas Studio Pertunjukan Sastra (SPS), komunitas Sastra Titik Nol, dan Sastra Bulan Purnama.Â
Dari berbagai komunitas itu bermunculan tokoh-tokoh sastra: Umbu Landhu Paranggi, Mustofa W Hasyim, Sutirman Eka Ardhana, Hari Leo AR, dan Ons Untoro.
Diskusi santai di tengah hujan kota Yogyakarta sampai pada rerasanan bahwa posisi penyair atau sastrawan pada tahun 1970-an sampai 1980-an ditentukan oleh nama-nama besar, redaktur media massa, di samping memang seseorang memiliki proses kreatif panjang sehingga ia punya posisi tawar seperti Rendra dan Emha Ainun Nadjib.
Afnan Malay, tukang demo yang sudah banyak menulis puisi, yang hadir dalam diskusi, melontarkan gagasan bahwa tidak usahlah kita mencari-cari posisi.
"Meskipun saya sudah menghasilkan puluhan puisi, tetapi tidak diakui sebagai penyair oleh masyarakat sastra Yogya, ya tidak masalah. Nyatanya puisi saya masih laku dan dielu-elukan oleh teman-teman seperjuangan," ujarnya.
Diakuinya, kehidupan sastra di Yogya memang unik. Orang rela berkorban hanya untuk diakui sebagai penyair. Pernyataan ini mendapat pembenaran dari Ons Utoro dan peserta diskusi.