Situasi ini dapat dihubungkan dengan potensi pengarang (misalnya Y.B. Mangunwijaya, Linus Suryadi, Ahmad Tohari, Suparto Brata, Pandir Kelana, dan Arswendo Atmowiloto) yang akrab dengan budaya Jawa; mereka setidaknya berasal atau pernah menetap di wilayah Pulau Jawa.Â
Dalam tataran ini perlu diingat kembali bahwa seorang pengarang selalu memperhatikan dan mempergunakan kehidupan di sekelilingnya sebagai sumber inspirasi penciptaan karya sastra.
Pengarang dalam memilih latar (yang kemudian dikaitkan dengan tema dan permasalahan serta aspek penokohan) dipengaruhi oleh lingkungan, interes pribadi, dan interes itu sendiri merupakan bagian dari suatu elemen masyarakat yang lebih luas.Â
Jadi, bukan tidak mungkin seorang tokoh dianggap sebagai simbol suatu sistem nilai tertentu, sama halnya denngan latar yang menjadi bahan yang diekspresikan oleh sastrawan ke dalam karyanya.Â
Dengan kata lain, Â muatan latar lokal dalam karya sastra menuntut kemampuan sastrawan menjelaskan hubungan antara corak watak tertentu, budaya tertentu, dengan daerah lingkungan hidupnya.Â
Pandangan ini mengasumsikan kemungkinan munculnya anasir lokal sebagai suatu proses dialektika terhadap integrasi budaya di Indonesia.
Teeuw menjelaskan bahwa Jawanisasi kesusastraan Indonesia terjadi karena sastrawan Indonesia yang menonjol sejak tahun 1970-an adalah mereka yang berangkat dari akar tradisi budaya Jawa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada hakikatnya anasir Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an merupakan cermin tanggung jawab pengarang  atas wujud dan format kebudayaan nasional bangsa.Â
Dalam rangka mengisi kebudayaan nasional (yang "mengindonesia"), maka pengarang karya sastra tahun 1980-an mencoba mencari "terobosan" dengan memanfaatkan khazanah tradisi subkultur Jawa dan diungkapkan ke dalam karya sastra.
Penampilan tokoh wanita dalam karya sastra tahun 1980-an melalui Pengakuan Pariyem, Burung-Burung Manyar, Rara Mendut, Ronggeng Dukuh Paruk, misalnya,  mampu menunjukkan eksistensi wanita, memperlihatkan mobilitas wanita dalam proses perubahan sosial budaya Indonesia pada umumnya.Â
Hal ini mengingat bahwa wanita dalam mobilitas sosial telah mencoba mempertanyakan eksistensinya, baik dengan cara menoleh dan menilai masa lampau sebagai aspek budaya bangsa yang kokoh maupun dengan melihat ke masa depan ke dalam lintas budaya internasional yang dinamis.
Persoalan yang menarik dalam kondisi belakangan ini menyangkut adanya perubahan gambaran mengenai stereotip wanita Jawa. Menurut Saparinah Sadli, meskipun wanita- wanita Jawa menunjukkan perilaku dan sifat-sifat khas yang tidak sama (bahkan mungkin bertentangan) dengan stereotif ideal wanita Jawa masa lalu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi wanita Jawa (khususnya golongan priyayi) untuk memperoleh pendidikan dalam arti luas, maka dapat diprediksi bahwa dalam waktu mendatang gambaran stereotif mengenai wanita Jawa akan mengalami perubahan.
Sebagian wanita Jawa menolak konsep swarga nunut neraka katut karena mereka telah mampu mandiri, merasa mempunyai tanggung jawab yang sama dengan pria (baik terhadap keluarga maupun masyarakat).
Berkaitan dengan konsep sabar, nrima, dan pasrah, wanita Jawa masa kini berusaha menyesuaikan diri dengan alam sekitar, memelihara keharmonisan dan kerukunan masyarakat.Â