Semua itu tak dapat disalahkan karena keterpencilan desa sudah direkatkan (diluluh-lantakan) oleh tiang-tiang besi milik provider serat optik jaringan internet yang masuk tanpa permisi.Â
Anak-anak desa tak lagi mengenal gending Rujak Jeruk, Ladrang Asmaradana Rinengga, Kodok Ngorek, sebab mereka lebih akrab menyanyikan lagu Aja Dibanding-bandingke, Rungkad, dan Buih Jadi Permadani yang mereka dengar dari YuoTube atau Sportify.
Kampung halamanku, menjelang tahun politik 2024, aku berharap semua berjalan damai. Adem ayem. Tidak ada lagi gontok-gontokan saat iring-iringan kampanye mengular. Tidak perlu adu mulut dan bersitegang bahwa si Polan lebih baik dari si Waru. Â Bukankah baik buruknya seseorang baru kita ketahui setelah mereka diberi jabatan? Sebelum memegang jabatan, mereka hanya pandai mengumbar janji.Â
Ah, sudahlah, yang penting kita harus menjaga kebersamaan dalam konteks perseduluran sak lawase. Kalau menang ya tak perlu sombong. Kalau kalah ya gedhe rekasane, e, wekasane.
Akhirnya, tetaplah engkau menjadi kampung halaman yang dirindukan banyak orang. Tetaplah wargamu nrima berdiam di rumah masing-masing sambil rengeng-rengeng melagukan Walang Kekek milik Waljinah saat ratusan orang dari luar kota membajiri Malioboro dan Titik Nol Kilometer.
Kampung halamanku, aku bersyukur saat Joko Pinurbo menuliskan bahwa engkau terbuat dari (rasa) rindu, (keinginan) pulang, dan (romantisme) angkringan. Tak usahlah terlalu dipikirkan publikasi data  Badan Pusat Statistik bulan September 2022 yang menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan provinsi termiskin di pulau Jawa. Kenyataannya penduduk di bumi Mataram merasa bahagia, nyadong dawuh saking ingkang Sinuwun-menunggu petunjuk dari sang Raja dalam konteks manunggaling kawula lan gusti.
Salam seribu bunga, sehangat matahari dari murid abadi kehidupan.
Tertanda,
Herry Mardianto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H