Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Jelajah Ambara-Semarang, Healing Bersama Keluarga

28 April 2023   15:11 Diperbarui: 28 April 2023   15:23 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halte-Stasiun Cikoya Awal/Foto: Hermard

Healing Bersama Keluarga

Ada kebiasaan yang saya lakukan bersama keluarga dan anak menantu untuk healing bersama setahun sekali. Waktunya disesuaikan dengan kapan anak-anak bisa mengambil cuti. Kami sengaja menghindari healing saat liburan panjang atau long weekend. Di saat seperti itu pasti tempat rekreasi tumpah ruah oleh pengunjung dan suasana menjadi kurang nyaman.

Di samping mempertimbangkan waktu juga jaraknya tidak terlalu jauh dari Yogyakarta. Ini dilakukan agar anak-anak  sepulang healing masih mempunyai sisa waktu beristirahat dan menikmati atmosfir kota Yogyakarta.

Agar rencana healing berjalan lancar, anak-anak berbagi tugas. Ada yang mengurusi reservasi hotel, menentukan objek wisata yang akan dikunjungi, mempersiapkan segala perlengkapan selama menempuh perjalanan, dan mencari referensi tempat kuliner yang recommended.

Sebenarnya ada dua pilihan tujuan, yaitu Jawa Timur (Malang) atau Jawa Tengah (Ambarawa dan Semarang). Kalau ke Malang bisa healing ke Batu, Museum Angkut, Jatim Park, dan Gunung Bromo. Tetapi anak-anak memilih ke Jawa Tengah dengan alasan menuntaskan destinasi wilayah Jawa Tengah. 

Sebelumnya kami sudah menyusuri destinasi pantai utara: Demak, Kudus, dan Lasem dalam rangka wisata religi dan menyaksikan sisa-sisa kemegahan bangunan kuno dengan ciri arsitektur bangunan Cina. Di samping itu, kami berkunjung ke salah satu rumah produksi batik Lasem di bilangan Jalan Gambiran.

Dari Stasiun Kereta Api Sampai Kota Tua

Sebenarnya sudah beberapa kali saya mampir ke Museum  Kereta Api Ambarawa. Akan tetapi baru kali ini  menyadari keberadaan beberapa replika halte (stasiun) kereta api yang unik karena terbuat dari kayu:  Cicayur, Cikoya, Kronelan, Tekaran, dan Kepuh. Saya takjub karena ukuran stasiun yang kecil dan bangunannya masih utuh.

Halte-Stasiun Cikoya Awal/Foto: Hermard
Halte-Stasiun Cikoya Awal/Foto: Hermard

Pintu Masuk Stasiun Cikoya 2021/Foto: Laman KAI
Pintu Masuk Stasiun Cikoya 2021/Foto: Laman KAI

Konon katanya, Stasiun Cikoya terletak di  desa Cikasungka, kabupaten Tangerang. Laman KAI menginformasikan bahwa stasiun Cikoya merupakan stasiun kelas III/kecil, melayani perjalanan jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang. Semula stasiun ini merupakan halte kecil berukuran 4,2 x 5,4 meter.  Saat ini bangunan asli stasiun Cikoya (terbuat dari kayu) sudah berpindah ke Museum Kereta Api Ambarawa, digantikan bangunan baru yang lebih luas dan moderen.

Halte Tekaran/Foto: Hermard
Halte Tekaran/Foto: Hermard
Bangunan stasiun masa lalu lainnya adalah halte Tekaran. Awalnya (Wikipedia), halte ini difungsikan guna menjaring penumpang pribumi yang bekerja sebagai petani atau pedagang. Dulu feeder Wonogiri diberhentikan di halte (stasiun) yang beroperasi sejak 1 April 1922, melayani perjalanan Solo Kota-Wonogiri.

Berkeliling/Foto: Hermard
Berkeliling/Foto: Hermard
Sebelum meninggalkan Museum Kereta Api Ambarawa, kami berkeliling di depan museum dengan menyewa scooter listrik.

Di Semarang, kami menginap di salah satu hotel berlokasi di belakang Lawang Sewu. Penginapan ini sengaja kami pilih agar pagi hari kami bisa jalan-jalan ke seputar Tugu Muda menikmati bangunan masa lalu dan eksotisme jelajah pagi kota Semarang.

Kota Tua di Jalan Letjen Suprapto, Tanjung Mas, merupakan tujuan healing pertama kami. Alasannya, kami semua menyukai wisata dengan aroma sejarah masa lalu. Menikmati bangunan abad 19 dengan arsitektur kolonial, selalu menimbulkan kekaguman terhadap keindahan dan detail bangunannya. 

Mengelilingi kota tua, kita akan merasakan atmosfer masa lalu dengan gedung-gedung tua, lampu antik, dan gereja peninggalan abad ke-18.
Gereja Blenduk merupakan salah satu ikon kota tua karena keunikan kubahnya yang besar (mblenduk). 

Gereja Blenduk 1/Foto: Hermard
Gereja Blenduk 1/Foto: Hermard

Gereja Blenduk 2/Foto: Hermard
Gereja Blenduk 2/Foto: Hermard
Di samping itu, pintu dan jendelanya juga berukuran besar. Saat kami datang, awan di atasnya begitu indah sehingga kami memotret bangunan tua itu dari berbagai angle, termasuk dari taman Srigunting.

Kemegahan Marba/Foto: Hermard
Kemegahan Marba/Foto: Hermard
Sebelum masuk ke arah warung sate dan gule Bustaman, kami mengabadikan gedung Marba yang menarik perhatian karena masih berdiri megah dengan cat warna merah. Puas menikmati Marba, barulah kami menyusuri lorong-lorong di kota tua. Beberapa bangunan tua dimanfaatkan sekelompok remaja sebagai latar pemotretan.

Lorong Kota Tua/Foto: Hermard
Lorong Kota Tua/Foto: Hermard

Setia di Lorongmu/Foto: Hermard
Setia di Lorongmu/Foto: Hermard
Rasanya saya tak pernah puas melihat bangunan yang begitu indah untuk ditinggalkan. Saya membayangkan apa jadinya jika bangunan Kotagede Yogyakarta, Kota Tua Jakarta, dan Kota Tua Semarang dijadikan satu? Satu hal yang bisa mewakili keinginan itu adalah kami Bangga Berwisata di Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun