Hati ini pun akan selalu mengenangmu, karena kampung halamanku adalah bagian cerita hidupku.
Begitulah salah satu ungkapan bijaksana mengenai kampung halaman yang banyak dikutip dan dituliskan nitizen di media sosial. Tak salah memang, karena kerinduan kepada kampung halaman merupakan tumpukan cerita yang tak mudah dilupakan.
Kota Yogyakarta merupakan tempat kelahiran dan bertumbuh. Rumah Eyang, Cokrodikromo, ada di pinggir jalan Diponegoro. Semasa kecil, seingat saya, nomor rumahnya 93, tepat di timur tempat berjualan lupis Mbah Satinem yang legendaris di Yogyakarta.Â
Tahun 1970-an, jualan lupis Mbah Satinem biasa saja, buka pagi-pagi, satu dua orang silih berganti datang membeli lupis yang memang gurih legit. Tidak seperti sekarang, pelanggan harus rela antre seuai nomor urut yang didapatkan.
Di kampung halaman tahun 1970-an, bus jurusan Semarang-Magelang-Yogyakarta masih boleh melintas di jalan-jalan protokol dalam kota, termasuk melintas di Jalan Diponegoro ke arah Tugu Pal Putih, kemudian berbelok ke selatan menuju terminal THR. Â Bus Mustika, Handoyo, Santoso, Kilat, Baker, bergantian melintas di depan rumah Eyang.Â
Orang-orang tua yang duduk-duduk di tritisan depan rumah, pandangan mereka selalu tertuju kepada bus yang masuk dari arah jalan Magelang. Belakangan, lewat pembantu, baru saya tahu kalau orang-orang tua itu bertaruh mengenai plat nomor bus, genap atau ganjil....
Kerinduan terhadap kampung halaman adalah saat Eyang Putri memberi tahu kalau Mbak Tenongan Trubus sudah datang, sekitar jam sembilan atau sepuluh pagi. Kami para cucu langsung berkumpul di ruang belakang yang cukup luas. Ruang itu berupa ruang makan plus dapur.
Tenongan adalah pedagang keliling (umumnya perempuan) dengan membawa berbagai jenis jajanan di dalam tenong -wadah bulat terbuat dari bambu, bersusun tiga. Tenong biasanya digendong berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kami akan memilih makanan kesukaan: pukis, onde-onde, lumpia, nagasari, bakpao, timus, galundeng, dan banyak pilihan lainnya. Terkadang kami berebutan  dan menangis karena tidak mendapatkan kue yang diinginkan.
Suasana lain yang selalu dirindukan adalah saat sore hari dan penjual es dondong lewat. Sebenarnya yang dijual adalah es krim biasa, tapi karena alat yang dipukul menyerupai gong kecil dan menghasilkan suara dong dong, maka banyak orang menamainya es dongdong.Â