Kotabaru, Yogyakarta. Jangan takut ketinggalan berbuka puasa karena di utara masjid Syuhada, di tepian Kali Code, berderet warung-warung kuliner lesehan. Agak ke timur (Jalan Farida M. Noto) ada  De'Celine Restorant, Raminten, Mirota Bakery, dan sebagainya.
Meskipun sedang puasa, bukan berarti kita tak bisa berjalan-jalan menyusuri tempat-tempat menarik. Berjalan-jalan menjadi menyenangkan sambil ngabuburit. Salah satunya menyusuri wilayahKawasan unik di Yogyakarta bukan hanya di Titik Nol Kilometer maupun wilayah Kotagede, keduanya memiliki bangunan lawas berarsitektur kolonial Belanda. Cobalah sesekali menyusuri kampung Gandekan dan Ketandan, Anda akan berdecak kagum melihat beberapa bangunan lawas bergaya Cina.Â
Pun kalau Anda mengitari Jalan Brigjen Katamso akan menemukan klenteng Fuk Ling Miau (Kelenteng Gondomanan) - tempat peribadatan umat agama Kong Hu Cu dan  Buddha -- di samping  menemukan beberapa bangunan dengan ciri arsitektur bergaya Cina.
Satu lagi wilayah di tengah kota yang harus di jelajahi adalah Kotabaru. Sebuah kawasan yang dibangun pada tahun 1917 sebagai Nieuwe Europeesche Villa-park, wilayah hunian bagi pegawai tinggi Belanda, pengusaha, maupun administratur pabrik gula.Â
Sampai saat ini, jejak Kotabaru sebagai taman kota masih dengan mudah dapat dicermati, misalnya dari banyaknya pepohonan rindang yang menghiasi jalan melingkar sepanjang Kotabaru.Â
Benar-benar sebuah tempat hunian asri dan nyaman, apalagi dilengkapi dengan berbagai sarana dan fasilitas transportasi (stasiun Lempuyangan), kesehatan (rumah sakit DKT) , tempat ibadah (masjid Syuhada, gereja Kotabaru), tempat olah raga (Kridosono), dan fasilitas pendidikan (SMP Negeri 5 dan SMA Negeri 3) yang memadai.
Jika kita melintas di Kotabaru, menuju ke arah pojok selatan sisi barat SMA Negeri 3 Yogyakarta, akan menemukan bangunan gardu listrik  (Babon Aniem) yang  terlihat  biasa saja dan tidak menyerupai peninggalan sejarah.Â
Babon Aniem  dulunya  dibangun sebagai tempat mengatur dan membagi daya listrik untuk kawasan Kotabaru. Didirikan sekitar tahun 1918 oleh perusahaan penyedia listrik swasta Algemene Nederlandsch Indische Electrisch Maatscapij (Aniem).
Meskipun begitu, beberapa tahun silam bangunan ini sempat menarik perhatian karena acapkali berganti wajah dengan  mural (grafiti) yang dibuat  para seniman dalam proyek mural Jogja.