Serasa semanis kurma  dan sirup yang tak ada habisnya  di bulan Ramadan, film religi Perempuan Berkalung Sorban (PBS) yang disutradari oleh Hanung Bramantyo, diproduksi Starvision tahun 2019, sampai hari ini masih direkomendasikan  sebagai salah satu film religi terbaik yang layak dan wajib ditonton saat ngabuburit. Film ini dialihmediakan ke layar lebar berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Abidah  El Khalieqy.
Perubahan Politik dan Kreativitas
Situasi politik di Indonesia yang bergulir dari Orde Baru ke Orde Reformasi, mengubah arah kreativitas Abidah dari penyair -- di samping menulis cerpen dan esai - ke novelis.Â
Dalam dunia kepenyairan (puisi), keberadaan Abidah tidak perlu diragukan lagi. Ia diakui sebagai perempuan penyair Indonesia kontemporer yang secara konsisten  menggali dan mengeksplorasi tema-tema keperempuan dalam proses kreatif penulisan puisi.
Perempuan kelahiran Jombang, 1 Maret 1965 ini mendapat anugerah di bidang sastra dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1998), beberapa kali diundang membacakan puisi di Dewan Kesenian Jakarta, puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam antologi bersama ASEANO: An Anthology of Poems  Shoutheast Asia (1996), Force Majeure (2007), dan Rainbown: Indonesian Womens Poet (2008).
Menyadari bahwa karya puisi dan cerpen memiliki keterbatasan pembaca, Abidah beralih ke penulisan novel agar tingkat keterbacaannya menjangkau segala lapisan masyarakat. Â Melalui novel, ia merasa dapat menyampaikan visi dan misi kepengarangannya ke dalam pemikiran pembaca: dari anak sekolah sampai ibu rumah tangga, dari abangan sampai kalangan santri.
Seputar Novel Perempuan Berkalung Sorban
Karya PBS merupakan novel kedua Abidah, setelah sebelumnya  menulis  Atas Singgasana (2002) yang hingga tahun 2004 dicetak sebanyak 30.000 eksemplar.
Proses penulisan PBS bermula saat tahun 2000 Yayasan Kesejahteraan  Fatayat (YKF) Yogyakarta mempertimbangkan karya sastra sebagai alternatif yang dapat digunakan  untuk pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dan sosialisasi isu gender serta hak-hak reproduksi perempuan di kalangan pesantren.Â
Abidah yang lulusan pondok pesantren dan selalu tertarik kepada persoalan  isu-isu keperempuan kemudian dipercaya menulis novel oleh YKF. Tidak main-main, demi menulis PBS, Abidah melakukan riset lapangan selama tiga bulan di pesantren-pesantren di Kaliangkrik, Magelang; membaca kitab-kitab kuning berkenaan dengan masalah perempuan, melakukan wawancara dengan kiai dan nyai. Draf novel PBS selesai  dua hari sebelum penulisnya melahirkan anak ketiga di sebuah klinik bersalin.
Jalan Panjang Film Perempuan Berkalung Sorban
Novel PBS terbit tahun 2001. Dua tahun kemudian "dilamar"  Chand  Parves (PT Kharisma Starvision) untuk mengalihmediakan PBS ke layar lebar. Setelah penandatanganan perjanjian dilakukan pada tahun 2003, ternyata pembuatan film tidak juga ada kabarnya. Pada tahun 2007 baru datang draf skenario PBS (tulisan Lintang Wardani)  untuk dikoreksi Abidah.
"Saya merasa wajib membaca skenario itu dan mengoreksi sana-sini, terutama pada dialog dan peristiwa-peristiwa yang melenceng dari visi utama novel BPS. Setelah itu, saya tidak tahu dan memang tidak mau tahu, kenapa proses filemisasi itu melayang begitu saja," jelas Abidah seperti yang dituliskannya dalam buku Njajah Desa Milang Kori.
Penantian panjang itu menjadikan Abidah seperti kembali ketitik nol. Kemudian datang lagi kabar dari Starvision kalau sutradara film PBS digantikan Chairul Umam dan ia harus bertemu dengan sang sutradara.Â
Sesudah pertemuan itu ternyata tak ada progres. Dua bulan kemudian baru datang kabar bahwa skenario PBS telah ditulis ulang Ginarti S. Noor dan sutradara dipercayakan ke Hanung Bramantyo.
Pada bulan Maret tahun 2008 penggarapan film dilakukan. Pada tahun 2009, film yang mengisahkan tokoh Annisa sebagai perempuan pemberani dan tidak menyerah menggapai emansipasi pemikiran dengan cara memberontak, melawan, mencari solusi terhadap praktik dominasi tokoh antagonis, Samsudin, suaminya sendiri, baru beredar di bioskop-bioskop.Â
Film ini kemudian dianggap kontroversial karena menawarkan pandangan baru, menempatkan eksistensi dan idealitas kaum perempuan dalam pandangan Islam (yang berada di lingkungan pesantren).
Perkembangan berikutnya, setiap ada diskusi mengenai novel PBS, pasti dikaitkan dengan film PBS. Kehadiran Abidah kerap dipojokkan, dianggap menyimpang dari ajaran Islam, dicap sebagai agen liberalisme, antek PKI, Â bagian dari gerakan feminis radikal.
"Untungnya semua cacian itu dapat terlelehkan dengan jawaban-jawaban saya yang lugas dan tegas. Memang senyatanya, tuduhan-tuduhan itu berkebalikan dengan jejak perjalanan saya di dalam proses kreatif penulisan sastra," ujarnya sambil menjelaskan  bahwa kontroversi film PBS tidak berbanding lurus dengan novelnya. Â
Rujukan: Njajah Desa Milang Kori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H