Menurut KBBI, kata pelopor bermakna perintis jalan, pembuka jalan, pionir.
Mingguan Pelopor merupakan embrio lahirnya apa yang kemudian dikenal masyarakat sebagai Mingguan Pelopor Yogya. Sejak tahun 1969, oleh Umbu Landu Paranggi bersama Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra, Ipan Sugiyanto Sugito, Soepamo S. Adhy, Iman Budhi Santoso, dan Mugiyono Gito Warsono, markas mingguan tersebut dijadikan tempat berdirinya Persada Studi Klub (PSK) yang memegang perananan penting bagi perkembangan dunia kesastraan di Yogyakarta.
Lewat mingguan tersebut, Umbu membuka rubrik sastra dan budaya dalam dua klasifikasi, yaitu "Persada" dan "Sabana". Para penulis pemula digodok dalam tataran "Persada" sampai akhirnya mereka mampu menembus tataran "Sabana". Â
Para penyair kelas "Sabana" lazimnya dapat disejajarkan dengan para penyair yang menulis di majalah Horison dan Basis.
Mingguan Pelopor Yogya sempat mengadakan lomba cipta puisi Chairil Anwar se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pemenang Ragil Suwarno Pragolapati (menulis puisi-puisi imajis konvensional). Posisi kepenyairannya di Yogyakarta semakin tidak tergoyahkan ketika Ragil diwisuda sebagai penyair oleh Umbu Landu Paranggi melalui tradisi Persada Studi Klub pada bulan Desember 1969 dengan memajang puisi puisi Ragil di kolom "Sabana" Pelopor Yogya.
Mingguan Pelopor merupakan mingguan politik populer yang lahir pada tahun 1950 berawal dari omong-omong beberapa orang yang berminat dalam dunia pers. Pada waktu itu majalah yang terbit di Yogya mengalami kesulitan dikarenakan susahnya mendapatkan kertas dan mahalnya harga kertas.Â
Meskipun demikian lahir kesepakatan untuk tetap menerbitkan majalah politik dengan dua tujuan pokok: (1) menjadi juru bahasa rakyat dan selalu bersikap korektif dan konstruktif terhadap pemerintah; dan (2) memberikan bimbingan dan penerangan sesuai dengan cita-cita nasional dalam perjuangan menuju negara kesatuan yang berdaulat dan sejahtera.
Kelahiran Pelopor tidak didukung oleh modal kuat, keberadaannya lebih didorong oleh kesamaan cita-cita dan kemauan bekerja keras untuk menerbitkan mingguan tersebut.
Kesulitan utama dalam upaya penerbitan Pelopor menyangkut pengadaan kertas.Â
Setiap pembelian kertas harus mengantongi surat izin (toewijzing) yang tidak mudah diperoleh (dikeluarkan oleh Kementerian Penerangan). Meskipun di perdagangan bebas kertas cukup tersedia, tetapi dijual dengan harga mahal.Â
Kerja keras redaksi dalam mengupayakan kertas membuahkan hasil ketika Kementerian Penerangan memberikan toewijzing kepada Pelopor.  Kesulitam yang paling memukul adalah terjadinya kesulitan keuangan dengan diberlakukannya pengguntingan uang (dikenal dengan peristiwa "gunting Sjafruddin"). Peristiwa  itu mengakibatkan redaktur mengambil keputusan  mengadakan reorganisasi dan konsosilidasi ke dalam.
Kemudian diterbitkan brosur-brosur (brochures) yang berkaitan dengan himbauan kepada pembaca/ pelanggan untuk memberikan bantuan secara nyata.
Untuk memperkuat kedudukannya, maka majalah yang beralamat di Jalan Malioboro 85 ini sejak tanggal 22 November 1950, Â pengelolaannya berada di bawah Yayasan dengan akte notaris R.M Wiranto, Yogyakarta, tertanggal 22 November 1950.Â