Lain ladang lain belalang, begitulah peribahasa bijak yang saya rasakan saat menamatkan sekolah dasar di Kuala Tungkal, Jambi, dan harus ikut orang tua ke Yogyakarta melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama pada awal tahun 1980-an.
Sejak kanak-kanak saya sudah terbiasa merasakan tradisi Ramadhan dengan menyalakan lilin, kembang api, dan lampu lampion. Di Yogyakarta ternyata tradisinya berbeda. Lilin, kembang api, dan lampion tak wajib dinyalakan.Â
Hal ini dikarenakan setiap rumah sudah teraliri listrik, terang, dan sepanjang jalan terdapat banyak tiang listrik dilengkapi lampu penerangan. Situasi ini bertolak belakang dengan kondisi di Kuala Tungkal: listrik dinyalakan bergiliran, tidak ada lampu penerangan jalan, dan kebanyakan rumah hanya memakai lampu dinding (teplok) atau petromaks.Â
Anak-anak Yogya lebih akrab dengan mercon bumbung, mercon banting, mercon pletik-pletik, mercon pletok untuk mengisi malam-malam mereka. Hebatnya, Â puasa di Yogyakarta diawali dengan ritual padusan.Â
Konon kata padusan berasal dari kata adus (mandi), merupakan tradisi masyarakat Jawa untuk menyucikan, membersihkan diri dan hati dalam memasuki bulan Ramadhan. Padusan dilakukan dengan cara berendam beramai-ramai di kolam, sendang, umbul atau sumber mata air. Meskipun dalam tradisi leluhur, padusan dilakukan sendirian dalam rangka perenungan dan instropeksi diri untuk menjadi lebih baik lagi.
Pembeda berikutnya  yang sangat terasa adalah saat perayaan idul fitri. Sewaktu di Kuala Tungkal, suasana lebaran terasa sampai beberapa hari, bahkan dua sampai tiga minggu. Hal ini terjadi karena silaturahmi berkepanjangan. Setiap mendapat kunjungan silaturahmi, keluarga wajib membalas berkunjung, sekalipun itu hanya tetangga sebelah rumah.Â
Bagi handai tolan yang jarak rumahnya jauh, maka hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, naik becak samping, atau naik sepeda. Saat itu belum ada kendaraan bermontor. Satu-satunya yang mempunyai motor adalah Mak Ali yang sering melakukan akrobat di atas motor.
Suasana lebaran  terasa lama karena kue lebaran tak habis-habis. Setiap keluarga menyiapkan kue kering yang berlimpah karena ini juga merupakan upaya menjaga gengsi.
Di Yogyakarta, suasana lebaran hanya terasa di hari pertama, saat berkumpul bersama keluarga sambil menikmati nasi atau kupat opor. Handai tolan pun berusaha datang silaturahmi di hari pertama. Tidak ada tradisi saling berbalas kunjungan.Â
Satu pembeda lagi yang signifikan, di Yogyakarta lebaran lebih ditujukan bagi keluarga yang terikat dalam sebuah trah, mempunyai hubungan kekerabatan sesuai dengan silsilah keluarga. Acara halal bihalal trah ini justru menjadi lebih penting dalam kehidupan orang Jawa.
Akhirnya, apa pun tradisinya, Ramadhan merupakan upaya menjalankan ibadah dalam kondisi suci lahir maupun batin. Sedangkan lebaran merupakan hari kemenangan bagi kita umat Islam dalam upaya melebur dosa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H