Sastrawan Agus Noor lahir di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968, berlatar belakang pendidikan Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Meskipun berlatar belakang pendidikan teater, ia aktif menulis. Baginya, menulis  merupakan cara  menyelamatkan diri dari kegilaan.Â
Dikenal sebagai cerpenis dan piawai menulis naskah panggung bergaya parodi dan  satir. Di samping itu dikenal sebagai penulis skenario sinetron. Monolog "Matinya Tukang Kritik" merupakan salah satu karyanya yang menertawakan keadaan Indonesia.Â
Bersama Ayu Utami, Â menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik Rancangan Undang-undang Pornografi.Â
Ia terlibat dalam program Sentilan Sentilun Metro TV sebagai penulis skenario yang ide dasarnya dikembangkan dari naskah monolog "Matinya Tukang Kritik" yang sebelumnya dimainkan oleh Butet Kartaredjasa.
Beberapa naskah monolognya, antara lain  (1) "Mayat Terhormat",  disusun bersama Indra Tranggono. Naskah itu dimainkan pertama kali di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada tanggal 27 sampai dengan 29 Maret 2000.Â
Selanjutnya, pada tanggal 7 sampai dengan 8 April 2000 karya itu dipentaskan lagi di Purnabudaya Yogyakarta. Naskah dimainkan oleh Butet Kertaradjasa, Supervisi Penyutradaraan: Jujuk Prabowo, dan Penata Musik: Djaduk Ferianto; (2) "Sarimin"; (3) "Presiden Kita Tercinta"; dan (4) "Matinya Tukang Kritik".
Agus Noor  beberapa kali meraih penghargaan sastra, di antaranya, memenangkan juara I penulisan cerpen pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS) I tahun 1991, dan mendapat penghargaan sebagai cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) IV tahun 1992.Â
Sementara pada tahun 1999, tiga cerpennya, "Keluarga Bahagia", "Dzikir Sebutir Peluru", dan "Tak Ada Mawar di Jalan Raya" mendapat Anugerah Cerpen Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta.Â
Penghargaan lain didapatkan lewat cerpen "Pemburu", oleh majalah sastra Horison dinyatakan sebagai salah satu karya terbaik yang pernah terbit di majalah itu selama kurun waktu 1990-2000. Cerpen "Piknik" mendapat Anugerah Kebudayaan 2006, Departemen Seni dan Budaya.
Karier kesastrawanan Agus Noor merupakan buah kesungguhan dan ketangguhannya dalam berproses kreatif. Sejak masih SMP dan tinggal di Tegal, ia  memiliki cita-cita besar untuk  ke Yogyakarta yang menjadi ajang berkesenian para seniman ternama di Indonesia.Â
Informasi kegiatan-kegiatan sastra dan seni di Yogyakarta diketahuinya dari media, membuatnya memiliki rasa ingin tahu yang besar atas pesona seniman-seniman di Yogyakarta.
Selepas SMP, Â ia mengembara ke Yogyakarta sekitar tahun 1980-an. Gaya urakan para seniman Yogyakarta yang ia temui di Senisono dan perbincangan demi perbincangan sampai dini hari (setelah menyaksikan pertunjukan teater dan segala macam acara seni) melahirkan inspirasi daya cipta Agus Noor.Â
Dari peristiwa- peristiwa yang ia temui itu, dipadukan dengan gejolak politik, sosial, budaya, bahkan agama yang kemudian ia ungkap lewat prosa.
Cerita pendek menjadi media pilihan Agus Noor setelah mendapat wejangan dari Linus Suryadi Ag. (saat menjadi redaktur Berita Nasional) bahwa Yogya akan semakin membuat penyair terpinggirkan, Yogya makin prosaik.Â
Agus Noor pun memahami maksud ungkapan itu, sehingga ia lebih mendalami prosa ketimbang melanjutkan menulis puisi.Â
Bergumul dengan Teater Gandrik, Agus Noor terlibat dalam sejumlah pertunjukan. Ia pun menulis sejumlah naskah monolog, antara lain "Matinya Tukang Kritik".Â
Selain itu ia pernah meramu naskah karya Heru Kesawa Murti berjudul Tangis dan Juragan Abiyoso menjadi Tangis yang dipentaskan di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta 11-12 Februari 2015 dan di Graha Bhati Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta 20-21 Februari 2015.Â
Heru Kesawa Murti merupakan penulis lakon di Teater Gandrik yang tak bisa dipisahkan. Agus Noor menyadari itu dan penggarapan naskah tersebut bukan untuk menggantikan posisi sang legenda.
Namun, justru  melanjutkan kreativitas dan semangat dari seniornya  yang patut diteladani. Pentas Tangis pun sukses mengembangkan tawa dan tepuk tangan penonton.
Sebagaimana telah disebutkan, bersama Ayu Utami Agus Noor menggarap naskah Sidang Susila yang dipentaskan pada Februari 2008 oleh Teater Gandrik di taman Ismail Marzuki Jakarta.Â
Teater Gandrik waktu itu tengah berbenah dengan energi baru didukung para teaterawan muda  Yogyakarta. Naskah lakon Sidang Susila sebagaimana napas Teater Gandrik, sarat dengan kritik sosial satir politik melalui pola teater sampakan.
Di Taeter Gandrik, Agus Noor  memadukan gagasannya, terutama bersama Butet Kartaredjasa. Lahirlah pertunjukan monolog ala Butet yang naskahnya digarap Agus Noor. Seperti sudah disingung, "Matinya Tukang Kritik" nyatanya tak habis di panggung monolog.Â
Peran jongos dan tuannya, bermetamorfosa menjadi Sentilan Sentilun yang diperankan apik oleg Butet dan Slamet Rahardjo di Metro TV.Â
Ngudarasa, begitulah konsep yang dibangun, ini berkaitan dengan acara radio di Yogyakarta, yakni Pak Besut. Kemudian dikembangkan dalam kolom sketsa tulisan Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat.Â
Hal serupa juga yang dikerjakan Emha Ainun Nadjib dalam kolom-kolomnya. Metode ini kemudian dikembangkan Agus Noor lewat naskah monolognya, termasuk "Matinya Tukang Kritik" yang  beralih wahana menjadi talk show.
Mengadaptasi sajian Teater Gandrik, Indonesia Kita hadir sebagai forum pergelaran seni untuk meyakini kembali proses keindonesiaan melalui jalan kesenian dan kebudayaan. Agus Noor menjadi salah satu tim kreatif, yang itu berarti menggerakkan ide gagasan untuk dikemas dalam sebuah pergelaran seni.Â
Perkara belakang panggung, Agus Noor agaknya memang lebih memilih berada di posisi itu, nyaris ia tidak pernah tampil dalam panggung pertunjukan.Â
Namun, gemerlap lampu dan gelora musik di tengah megah panggung itu, bisa jadi adalah konsep lelaki yang menyebut dirinya "Pangeran Kunang-kunang" ini.Â
Trio Lestari, yang terdiri dari Glenn Fredly, Sandhy Sondoro, dan Tompi acapkali bekerja sama dengan Agus Noor untuk mengonsep acara konser-konser mereka.Â
Kehidupan kepenulisannya dan keberadaannya di belakang panggung merupakan kesadaran bahwa ia tidak ingin menjadi penulis penyendiri, merasa sebagai nabi yang mewakili zamannya, padahal ide-ide belum tentu sesuai dengan hasrat dan impian pembaca.Â
Ia memilih menjadi penulis yang menyelami perubahan zaman sehingga ide-idenya punya relasi dengan masyarakat saat ini menghadirkannya tidak hanya sebagai teks namun juga pertunjukan. (Herry Mardianto & Latief S Nugraha)
Rujukan: Orang-orang Panggung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H