Di zaman modern, penerbitan berupa buku, majalah, merupakan syarat bagi penyebarluasan karya (termasuk karya sastra). Orang- orang yang berada di belakang media penerbitan  (beserta ideologinya) sangat berperan dalam menentukan perkembangan sastra modern. Â
Pada awal tahun 1950-an, dalam rangka turut berperan serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, di Yogyakarta mulai bermunculan surat kabar/majalah, yang memuat sastra, khususnya sastra Indonesia. Beberapa di antaranya adalah majalah Budaya, Seriosa, Basis, Suara Muhammadijah, Pusara, dan  Gadjah Mada; meskipun tidak semuanya memuat karya sastra.
Motto penerbitannya: Â "Majalah Kebudayaan Umum" - kemudian berubah menjadi "Majalah Bulanan untuk Soal-soal Kebudayaan Umum".Â
Rubrikasi  majalah tersebut antara lain Kronik, Silat Pena, Varia Budaya, Bumi Berputar: Pusat Getaran Berita, Timbangan Buku, Artikel Budaya, Pendidikan, Puisi, dan Agama.Â
Kronik memuat tulisan pendek mengenai pandangan seorang penulis. Misalnya gagasan B. Sularto dalam tulisannya "Meninjau Beberapa Aspek Mentalita Kesastrawanan" (Basis, Oktober 1962), dan "Achdiat dan Cerita Pendek" (Basis, Oktober 1956). Rubrik Kronik juga berisi polemik atas tulisan yang pernah dimuat dalam Basis.
budaya/sastra yang dilakukan oleh institusi tertentu, baik di Indonesia maupun di luar negeri.Â
Rubrik Varia Budaya berisi informasi mengenai kegiatanRubrik Pertimbangan Buku memuat resensi berbagai macam buku, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu sosial, bahasa, dan sastra. Kehadiran rubrik ini dimaksudkan  memudahkan pembaca mengetahui isi buku yang diresensi oleh redaksi Basis.Â
Berbagai peristiwa yang terjadi di belahan dunia maupun di Indonesia diwartakan lewat rubrik Bumi Berputar: Pusat Getaran Berita. Peristiwa yang disajikan adalah peristiwa/ persoalan penting yang sudah berlalu tetapi dianggap perlu diketahui oleh pembaca. Misalnya  tulisan "17 Agustus 1960" (Basis,  September 1960).Â
Selain berupa peristiwa, tulisan yang dimuat terkadang mengenai serba-serbi kehidupan di wilayah tertentu.Â
Tulisan "17 Agustus 1960" tidak saja menceritakan bagaimana peringatan kemerdekaan Republik Indonesia merupakan kejadian monumental, tetapi yang lebih penting berupa ulasan mengenai pidato dan konsekuensi pidato Presiden Soekarno pada hari peringatan lima belas tahun kemerdekaan Indonesia yang juga merupakan peringatan satu tahun usia Kabinet Kerja dan Manifesto Politik. Dalam pidato  berjudul "Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit Jalannya Revolusi Kita".
Presiden memerintahkan pembubaran Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia, serta menyatakan putusnya hubungan diplomatik Indonesia-Belanda.
Rubrik Silat Pena hadir pada awal tahun 1960-an, merupakan rubrik yang kehadirannya diperuntukan bagi pihak-pihak yang berpolemik atau mengemukakan pendapat singkat mengenai berbagai persoalan yang dianggap perlu ditegaskan atau diperdebatkan.Â
Sastra" (L.A. Sinaga). Dr. M. Jeuken membuat tulisan tersebut untuk menang- gapi tulisan J. Drost.
Rubrik Silat Pena (Basis, Oktober 1959), misalnya, berisi "Beberapa Catatan Mengenai Bumi dan Asal-Mulanya" (Dr. M. Jeuken) dan "PengajaranHadir dengan motto "Majalah Bulanan untuk Soal-soal Kebudayaan Umum", majalah Basis lebih menaruh perhatian pada esai-esai kebudayaan dan karya sastra berbentuk puisi.Â
Majalah ini pada mulanya merupakan majalah "khusus" sebagai corong budaya dan pemikiran umat Kristen/Katholik. Untuk itu beberapa artikel yang dimuat tidak lepas dari nuansa Kristen/Katholik, misalnya "Manakah Angkatan Sastrawan Kristen?" (Dick Hartoko, Basis, Oktober 1957).
Menjelang tahun 1970, majalah Basis mengubah orientasinya sebagai majalah kebudayaan umum.Â
Perubahan orientasi tersebut tentu saja melalui pertimbangan-pertimbangan "tertentu", termasuk dalam penetapan staf redaksi, isi majalah, dan target audience yang dijadikan sasaran.Â
Dalam perkembangannya, Basis juga memuat karya-karya penulis penganut agama lain (termasuk penganut agama Islam).
Dari awal penerbitannya majalah Basis kurang menaruh perhatian terhadap cerpen karena para pengayomnya lebih tertarik pada pemuatan puisi, beberapa di antaranya adalah "Tragedi" karya Yudha (Juli 1954), "Saat Yang Biasa Tiba" karya WS Rendra (Oktober 1954), dan "Tuhanku" karya A. Liem Sioe Siet (April 1955). Nama-nama penyair lain yang sering muncul adalah Th. Koendjana., R.G Siswantho, Trisnanto, dan Slametmuljana.  (Herry  Mardianto)
Rujukan: Sistem Penerbitan di Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H