Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media, Pengarang, dan Pembaca Sastra Tahun 1950-an

11 Maret 2023   13:59 Diperbarui: 11 Maret 2023   14:30 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Majalah Gadjahmada/Foto: Hermard

Diperlukan hubungan "mesra" antara penerbit, pengarang, dan pembaca agar keberlangsungan penerbitan surat kabar/majalah dapat berjalan dengan baik.

Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern menyatakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk  melek huruf  bisa ditandai dari oplah surat kabar  yang meningkat. 

Tahun 1950 tercatat 500.000 eksemplar  oplah surat kabar di Indonesia. Pada tahun 1956 menjadi di atas 933.000 eksemplar. Artinya ada kenaikan hampir dua kali lipat. Sementara oplah majalah meningkat tiga kali lipat menjadi di atas 3,3 juta eksemplar dalam kurun waktu yang sama.

Tulisan ini bermaksud mengetahui keberadaan majalah-majalah  atau surat kabar yang terbit di Yogyakarta pada tahun 1950-an, siapa pengarang dan pembaca yang terlibat dalam mempertahankan keberadaan majalah atau surat kabar   dan bagaimana pengarang dapat hadir dalam majalah atau surat kabar.

Pengamatan  ini berpijak dari gagasan bahwa karya sastra hadir karena adanya jaringan yang melibatkan pengarang (pencipta karya sastra), penerbit (sebagai pengayom dan berfungsi menyebarluaskan karya sastra lewat koran/majalah), serta pembaca (penanggap).

Seperti diketahui, pada awal tahun 1950-an di Yogyakarta mulai bermunculan surat kabar/majalah, yaitu majalah Budaya, Seriosa, Basis, Suara Muhammadijah, Pusara, dan  Gadjah Mada; meskipun tidak semuanya memuat karya sastra.

Majalah Seriosa/Foto: Hermard
Majalah Seriosa/Foto: Hermard
Hal ini terjadi karena sejak awal kemerdekaan, Yogyakarta berupaya mengembangkan diri menjadi salah satu kota budaya karena memiliki tradisi budaya kerajaan yang  kuat.  

Di samping itu bermunculan perguruan tinggi yang mendukung pengembangan sastra dan budaya.

Beberapa perguruan tinggi tersebut menerbitkan media komunikasi, antara lain Universitas Gadjah Mada menerbitkan majalah Gadjah Mada (GAMA) dan Tamansiswa menerbitkan majalah Pusara. 

Majalah Gadjahmada/Foto: Hermard
Majalah Gadjahmada/Foto: Hermard

Kehadiran berbagai majalah dan surat kabar mampu memberi sumbangan  cukup besar bagi perkembangan sastra di Yogyakarta.  

Dari segi kualitas, beberapa pengarang cerpen yang berproses kreatif di Yogyakarta menunjukkan kelebihan sebagai sosok   mumpuni.  

Pada tahun 1961 redaksi majalah Sastra memberikan "Hadiah Sastra 1961" kepada  A. Bastari Asnin untuk cerpen "Di Tengah Padang" (Sastra, No. 2, Juni 1961). Cerpen ini dipandang memiliki kelebihan berkaitan dengan teknik bercerita  yang penuh  ketegangan, kerahasiaan, dan diperkuat oleh keajaiban nasib serta perjalanan hidup tokoh-tokohnya.  

Sedangkan B. Soelarto menerima hadiah atas cerpennya yang mengandung kritik jujur dan berani serta konstruktif terhadap kepincangan-kepincangan/penyelewengan dalam masyarakat. Penghargaan tersebut diberikan untuk cerpen "Rapat Perdamaian" (Sastra, No. 6, Oktober 1961). 

Di samping dua pengarang di atas, Satyagraha Hoerip memperoleh hadiah hiburan atas cerpennya "Seorang Buruan" (Sastra, No. 3, Juli 1961), bercerita mengenai pengorbanan dan penderitaan pejuang dalam melawan penjajah.

Pemerolehan hadiah sastra tersebut memberi gambaran bagaimana kesungguhan pengarang cerpen yang berproses kreatif di Yogyakarta dalam menciptakan cerpen berkualitas.

Sistem pendukung sastra yang juga perlu diperhitungkan adalah sistem pembaca atau penanggap (gatekeepers)  yang diperlukan redaktur demi  kelangsungan kehidupan surat kabar/majalah. 

Dalam hal tertentu, pengayom (termasuk staf redaksi)    memberi perhatian terhadap pembacanya agar  timbul  pengertian dan kerjasama  saling menguntungkan.  

Beberapa majalah yang terbit di Yogyakarta secara implisit memiliki sasaran pembaca tertentu, misalnya Media, Pusara, Gadjah Mada, Suara Muhammadiyah, Gema Islam, dan Darmabakti. 

Lembaran budaya/sastra majalah Gadjahmada/Foto: Hermard
Lembaran budaya/sastra majalah Gadjahmada/Foto: Hermard
Majalah Media, Suara Muhammadiyah, Gema Islam, dan Darmabakti berisikan tulisan-tulisan yang bernapaskan Islam, sehingga target pembacanya adalah pemeluk agama Islam. 

Secara sepesifik, majalah Media memiliki target sasaran pembaca angkatan muda Islam di Indonesia, khususnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Indonesia.

Sasaran pembaca tersebut tidak jauh berbeda dengan sasaran pembaca majalah Darmabakti karena majalah ini diterbitkan oleh dewan mahasiswa IAIN Sunankalijaga. 

Hanya saja majalah Media sebenarnya memiliki sasaran pembaca  lebih luas, sehingga karya-karya sastra yang ditampilkan pun tidak sepenuhnya bernuansa Islam, tema dan persoalan yang dikemukakan bersifat umum; hal ini berbeda dengan majalah Suara Muhammadiyah maupun Gema Islam.  

Kedua majalah tersebut selalu menampilkan karya sastra dengan tema dan persoalan yang berkaitan dengan Islam. Majalah Gema Islam, misalnya, memuat cerpen "Dimulai dengan Kesulitan" karya S.N. Ratmana (Gema Islam, 15 November 1962) dan "Bersuluh di Hati Perempuan" karya M. Sunjoto (Gema Islam, 1 November 1964).

Cerpen pertama menggambarkan buruknya akhlak murid-murid di sebuah SMU ketika menghadapi guru baru. Sedangkan cerpen kedua berisi ajakan agar orang (pembaca) selalu beribadah dan ingat kepada Tuhan. Dalam cerpen kedua, warna Islam terasa begitu kuat dari awal hingga akhir cerita.

Majalah Gadjah Mada dan Pusara memiliki target pembaca yang lebih umum dibandingkan dengan Suara Muhammadiyah, Gema Islam, serta Darmabakti. Hal serupa juga terlihat pada majalah Medan Sastra, Seriosa, Pesat, Api Merdeka, Minggu Pagi, Arena, dan Budaya.  

Minggu Pagi/Foto: Hermard
Minggu Pagi/Foto: Hermard

Kenetralan majalah Minggu Pagi dapat kita cermati dari pemuatan iklan ucapan selamat  hari natal dan tahun baru yang dimuat dalam  Minggu Pagi, No. 40, 30 Desembar 1962  dan pemuatan cerpen lebaran "Di dalam Ada Cahaya" (karya Djakaria, N.E) dalam Minggu Pagi, 24 Februari 1963.

Majalah Gadjah Mada meskipun dikelola oleh pihak kampus tetapi target pembacanya tidak terbatas pada kalangan civitas akademika melainkan melebar ke pembaca umum. 

Sambutan rektor dalam penerbitan majalah Gadjah Mada/Foto: Hermard
Sambutan rektor dalam penerbitan majalah Gadjah Mada/Foto: Hermard
Sebagai majalah umum, majalah ini memuat cerita pendek yang kadang tidak mudah dipahami masyarakat awam. Kondisi tersebut tercipta karena kehadiran majalah ini berwawasan kepada kaum intelektual.  Terlebih lagi kehadiran cerpen dalam majalah Gadjah Mada tanpa disertai illustrasi yang  dapat berfungsi sebagai "petunjuk" dalam memahami cerpen tersebut.  

Cerpen 1 Halaman MP/Foto: Hermard
Cerpen 1 Halaman MP/Foto: Hermard
Hal ini berbeda dengan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah Minggu Pagi yang diperuntukan bagi siapa saja, sehingga cerpen-cerpen yang dihadirkan  adalah cerpen-cerpen yang mudah dicerna oleh siapa pun. Setiap cerpen memiliki illustrasi yang menggambarkan tokoh, latar, atau adegan sebuah peristiwa dalam cerita.

Perhatian pengayom (Minggu Pagi) kepada pembaca yang menyenangi masalah sastra terlihat dari kehadiran beberapa tulisan yang membicarakan situasi dan perkembangan sastra di Yogyakarta, selain memuat tulisan mengenai profil pengarang Indonesia.

Kualitas karya sastra yang dimuat beberapa majalah khusus budaya dan sastra tentu lebih baik karena beberapa majalah tersebut memiliki pembaca  spesifik, di samping pihak majalah mempunyai redaksi khusus yang menangani karya sastra.  

Majalah Arena/Foto: Hermard
Majalah Arena/Foto: Hermard
Majalah Medan Sastera, Seriosa, Budaya, dan Arena di samping menampilkan karya sastra, juga mengedepankan tulisan/artikel sastra/budaya. 

Majalah Medan Sastera mempermudah pembaca dalam mendapatkan informasi kegiatan sastra dengan rubrik "Lintasan Kesusasteraan Bulan Ini" seperti yang termuat dalam Medan Sastera, No. 7,  Oktober 1953.  Di dalam  catatan tersebut dimuat segala kegiatan kesusastraan yang terjadi di Indonesia maupun di luar negeri.

Asal-usul pembaca sebuah majalah dapat dirunut dari surat/ pengumuman redaksi, iklan,  boks redaksi, berita keluarga, dan sebagainya. Pembaca majalah Gadjah Mada tidak saja berasal dari Indonesia karena dari boks redaksi diketahui majalah ini memiliki  pembantu tetap di  Amerika, Nederland, dan Denmark. Majalah inipun tidak hanya dikonsumsi oleh pembaca di Yogyakarta tetapi juga pembaca di luar wilayah Yogya, misalnya Madiun,  Bukittinggi, Bandung, Kalimantan, Jakarta, Palembang. 

Asal-usul pembaca majalah Minggu Pagi dapat dicermati dari sebuah rubrik  menarik, yaitu "Detik-Loncatan". Rubrik tersebut  mengabarkan tiga hal  sekaligus, yaitu berita kelahiran, pernikahan, dan kematian yang semuanya merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia.  

Dari rubrik tersebut dapat pula diketahui persebaran dan asal pembaca Minggu Pagi yang meliputi berbagai wilayah hingga luar pulau Jawa. Dalam majalah lain pun asal-usul dan persebaran majalah dapat diketahui secara implisit dari boks redaksi, surat pembaca, pengumuman/pemberitahuan dari redaksi, dan berita keluarga.

Cara pembaca mendapatkan majalah  secara garis besar dapat dipilah menjadi dua: (1) berlangganan, dan (2) membeli eceran.  Satu trik menarik dilakukan oleh majalah Gadjah Mada dengan menawarkan kepada pembaca untuk menjadi pelanggan abadi.  

Trik yang dilakukan majalah Gadjah Mada tersebut mendapat tanggapan positif dari pembaca sehingga  pada terbitan kemudian pengayom lebih mengutamakan pelayanan kepada para pelanggan dibandingkan dengan pembeli eceran.

Pembaca merupakan subjek  penting bagi sebuah penerbitan; untuk itu pelayanan kepada pembaca merupakan hal yang diutamakan. Bagi majalah Seriosa, menjalin komunikasi lewat pengumum redaksi menjadi prioritas utama,  berkaitan dengan  bagaimana secara teknis pembaca/pengarang  dapat mengirimkan tulisan ke Seriosa. 

Beberapa iklan yang dimuat majalah Minggu Pagi secara eksplisit (seperti majalah umum lainnya) tidak  menampakkan keberpihakan terhadap agama tertentu. 

Tidak berbeda jauh dengan majalah Pusara terbitan Tamansiswa maupun majalah Basis, majalah Suara Muhammadiyah dikhususkan untuk kalangan tertentu (interorganisasi). Majalah terbitan Pusat Muhammadiyah ini dimaksudkan juga sebagai majalah ilmu dan amal, oleh sebab itu, visi majalah ini menjadi orientasi khusus dari penerbitan Suara Muhammadiyah. 

Begitulah, hubungan antara media penerbitan, pengarang, dan pembaca tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Ketiganya saling terkait erat. (Herry Mardianto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun