Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Dramatisasi Puisi

7 Maret 2023   12:54 Diperbarui: 7 Maret 2023   14:19 4246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang harus kita lakukan saat menghadapi puisi "Nyanyian Angsa" (WS Rendra) dan "Jante Arkidam" (Ajip Rosidi)? Membacanya sendirian di atas panggung? Membacanya diam-diam dalam hati?

Jujur saja, kita  akan kehabisan suara, terengah-engah jika dipaksa membaca puisi beberapa halaman itu seorang diri. Terlebih puisi panjang itu memiliki banyak tokoh, latar, dan alur cerita.

Perlu diingat lagi bahwa setiap puisi memiliki nada dan tone sendiri-sendiri, sehingga menuntut cara membaca yang berbeda-beda. Hal ini bisa kita pahami setelah melakukan apresiasi terhadap masing-masing puisi.

Pilihan terbaik membaca puisi balada karya Rendra dan Ajip Rosidi di atas adalah dengan mendramatisasikannya. 

Dalam KBBI, dramatisasi didefinisikan sebagai penyesuaian cerita untuk pertunjukan sandiwara, membuat suatu peristiwa menjadi mengesankan atau mengharukan, pembacaan prosa atau puisi secara drama. Sedangkan mendramatisasikan dimaknai sebagai  membuat sesuatu menjadi dramatis.

Kecubung Pengasihan/Foto: Hermard
Kecubung Pengasihan/Foto: Hermard
Langkah pertama dalam dramatisasi puisi (dilakukan berkelompok) adalah pengenalan naskah. Pada hakikatnya pengenalan naskah merupakan tahapan penataan motivasi antarpembaca/pemain. 

Kebersamaan yang dicapai dalam proses pengenalan naskah merupakan sarana guna memahami karakter masing-masing individu dalam menciptakan kreativitas pembacaan. Hal ini terutama berkaitan dengan olah vokal dan performance. 

Suara Pembayun/Foto: Hermard
Suara Pembayun/Foto: Hermard
Sebagai catatan, pemilihan naskah setidaknya mempertimbangkan tiga hal: (1) aktual dipentaskan---minimal  mempersoalkan masalah yang dekat dengan kehidupan/masyarakat, (2) naskah mampu dipentaskan---baik  menyangkut materi pembaca (pemain) maupun persoalan lainnya, dan (3) bentuk (form) yang kemungkinan bisa dicapai dari naskah tersebut.

Tahapan berikutnya dalam dramatisasi/ teaterikalisasi puisi berkaitan dengan analisis naskah. Tahapan ini dilakukan dengan cara reading play untuk memahami "apa maunya" naskah. 

Dengan pemahaman tersebut maka pembaca akan dapat mengembangkan suasana, alur, dan tokoh kedalam wujud visual. Di samping itu akan dapat dipahami momentum yang ada dalam naskah, mengindentifikasi tokoh, latar belakang cerita, dan gagasan atau pesan yang ingin disampaikan dalam naskah (puisi). 

Jadi, reading play akan melalui tahapan bahasa, watak, suasana dramatik, dan keterlibatan emosi. 

Tentu saja mennyiapkan suatu pembacaan (bersama) yang baik bukanlah merupakan hal mudah karena memerlukan proses persiapan penyutradaraan. 

Seorang sutradara menyiapkan pikiran dan tenaga untuk menghasilkan pembacaan yang baik, ia mau tidak mau  harus membuat program non-artistik dan program artistik. Program non-artistik berkaitan dengan penyusunan jadwal latihan agar semua pendukung dapat berlatih bersama. 

Di sisi lain, program artistik merupakan tahapan persiapan artistik, berkaitan dengan pengelolaan ide atau konsep-konsep garapan yang dipikirkan dan disusun sutradara, kemudian diaplikasikan dalam latihan. 

Program artistik umumnya berkaitan dengan penciptaan pengadeganan, pemilihan pemain, tata pentas (termasuk di dalamnya properti), kostum, dan musik.

Dramatisasi di SMAN 6 Yogya/Foto: Hermard
Dramatisasi di SMAN 6 Yogya/Foto: Hermard

Jika dicermati lebih jauh, dalam sastra Indonesia, ternyata puisi-puisi balada jumlahnya sangat terbatas. Akibatnya upaya dramatisasi puisi tidak akan jauh dari puisi "Nyanyian Angsa", "Balada Sumilah", "Rick dari Corona", "Blues untuk Bonnie", "Pesan Pencopet kepada Pacarnya" (kelimanya karya WS Rendra), "Jante Arkidam" (Ajip Rosidi), dan "Pada Suatu Malam" (Sapardi Djoko Damono). (Herry Mardianto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun