Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku Mengenai Jejak Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta

5 Maret 2023   14:34 Diperbarui: 6 Maret 2023   18:16 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilmu itu/dijalankan dengan perbuatan/dimulai dengan kemauan/kemauan adalah penguat/budi setia penghancur kemurkaan -- Ngelmu iku/kelakone kanthi laku/lekase lawan kas/tegese kas nyantosani/setya budya pangekese dur angkara (Serat Wedhatama-KGPAA Mangkunegara IV)

Tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa sastrawan dan seniman Yogyakarta turut berpartisipasi dalam pengembangan sastra/budaya di Indonesia. Setidaknya hal ini dapat dicermati dari dua hal penting. 

Pertama, banyak sastrawan yang berproses kreatif di Yogyakarta kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh sastra di kancah nasional. Sebut saja beberapa nama sebagai contoh: WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Romo Mangunwijaya, Umar Kayam, dan Butet Kertaredjasa. 

Kedua, kelompok teater/kesenian Yogyakarta sering dijadikan "kiblat" bagi daerah-daerah/seniman lain dalam menampilkan konsep estetika pertunjukkan/berkesenian. Misalnya saja kelompok teater di tanah air ramai-ramai menampilkan pertunjukkan dengan konsep sampakan dan plesetan yang diperkenalkan oleh Teater Gandrik dari Yogyakarta.

Dinamika pertumbuhan sastra Yogyakarta yang begitu riuh pada tahun 1980-an sampai tahun 2000-an didukung oleh para pengayom, berbagai komunitas sastra, media ekspresi cetak/terbitan, dan tersedianya berbagai tempat pertunjukkan dan diskusi sastra.

Sayangnya, berbagai kegiatan sastra di Yogyakarta tidak terdokumentasikan dengan baik, meskipun kota budaya ini memiliki institusi Taman Budaya Yogyakarta, Dinas Kebudayaan, Balai Bahasa, tetapi dokumentasi mengenai sastrawan, kegiatan kesastraan, tak mudah didapatkan. 

Hal ini terjadi karena Yogyakarta sebagai kota budaya tidak memiliki pusat dokumentasi sastra. Berbeda dengan Jakarta, meskipun bukan sebagai kota budaya, mempunyai Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.

Buku Proses Kreatif
Menyadari berbagai fenomena kesastraan yang berpengaruh signifikan dalam menunjang proses bersastra secara sosial dan individual (berkaitan dengan proses kreatif) dibutuhkan masyarakat luas, maka atas ide kreatif Iman Budhi Santosa (IBS -- penyair dan begawan sastra Yogyakarta) diterbitkanlah tiga buku (trilogi) berkaitan dengan proses kreatif sastrawan Yogyakarta. 

Trilogi Ngelmu iku Kelakone Kanthi Laku/Foto: Hermard
Trilogi Ngelmu iku Kelakone Kanthi Laku/Foto: Hermard
Buku-buku tersebut adalah Ngelmu iku Kelakone Kanthi Laku: Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta (2016), Njajah Desa Milang Kori: Proses Kreatif Novelis Yogyakarta (2017), dan Mider ing Rat: Proses Kreatif Cerpenis Yogyakarta (2018). 

Judul-judul buku sengaja ditetapkan menggunakan bahasa Jawa agar terkesan nyeleneh sekaligus istimewa.

Buku Ngelmu iki Kelakone Kanthi Laku, berisi paparan proses kreatif berbagai pelaku seni di Yogyakarta dalam beragam subtema.  Berbagai tulisan layak dibaca dalam buku ini, antara lain: "Yogya sebuah Persentuhan dan Penemuan Puitik" (Mutia Sukma), "PerubahanSosial: Yogya yang Makin Prosais" (Agus Noor), "Di Balik Petualangan Cerpen dan Esai" (Indra Tranggono), "Belajar Menulis Bersama Teater Garasi" (Gunawan Maryanto), dan "Berkelit dari Jebakan Banjir Fakta" (Ahmadun Yosi Herfanda).

Lewat tulisan "Siapa pun Bisa Menjadi Guru, Siapa pun Boleh Menjadi Murid," Hasta Indrayana menegaskan bahwa puisi itu musikal karena ada "nada-nada" yang ditata sehingga membentuk harmoni. Puisi merupakan bunyi bahasa dan bunyi merupakan aspek penting dalam puisi.  

Memahami proses kreatif/Foto: Hermard
Memahami proses kreatif/Foto: Hermard
"Saya memperdalam tata bunyi puisi dengan memaksimalkan asonansi, aliterasi, repitisi, sigmatisme, pararima, ritme, dan penekanan," tulis Hasta.

Buku Njajah Desa Milang Kori, bersifat lebih khusus, memuat dua puluh tulisan mengenai proses kreatif penulisan novel -- bagaimana para novelis melakukan perjalanan panjang demi mewujudkan novel.

Proses kreatif novelis Yogyakarta/Foto: Hermard
Proses kreatif novelis Yogyakarta/Foto: Hermard
Di bagian awal tulisan "Saya Tidak Bermain-main dalam Bersenang-senang," Herlinatiens (yang mengaku tidak mudah bergaul  dan sama sekali tidak memiliki cita-cita menjadi seorang sastrawan) menyatakan bahwa menulis apa pun merupakan cara berbicara dengan orang lain. Menulis novel merupakan cara mengenali diri sendiri dan sekitar dengan lebih baik.

Di bagian lain, wanita penyuka kopi tanpa gula ini  mengakui mempunyai beberapa buku yang cukup menginspirasi saat gandrung menulis catatan-catatan kecil bernama puisi.

Herlinatiens/Foto: Hermard
Herlinatiens/Foto: Hermard
"Sebut saja antologi puisi Gandrung karya Gus Mus dan novel Olenka karya Budi Darma. Persinggungan saya dengan beliau berdua selanjutnya justeru banyak terkait soal ketertarikan saya pada cara keduanya melayani hidup. Kekaguman-kekaguman yang secara tidak langsung mungkin saja memengaruhi gaya penulisan saya," jelasnya.

Sastrawan Mustofa W. Hasyim lewat tulisan "Semakin Menjadi Jawa dengan Menulis Novel" membocorkan rahasia mengenai novel Perempuan yang Menolak Berdandan, awalnya berupa cerita pendek. Setelah dua puluh halaman, diteruskan menjadi novel.

"Ceritanya berupa kisah perempuan muda keturunan bangsawan Surakarta dan anak perwira tinggi militer yang mempunyai kepribadian unik, tidak mau berdandan.
Agar seru, maka saya oplos dengan intrik politik menjelang pemilihan presiden. Agar enak dibaca, saya bumbui dengan adegan percintaan penuh  derita, dan saya tutup dengan tarian yang amat indah," papar Mustofa.

Proses kreatif lain yang cukup menarik bisa dicermati lewat "Untuk Siapa Saya Menulis" (Ashadi Siregar), "Menulis Novel: Sebuah Cara Menikmati Detak Jantung Sendiri" (Evi Idawati), dan "Melepas Kesedihan dalam Kata-kata" (Sindhunata).

Proses kreatif cerpenis Yogyakarta/Foto: Hermard
Proses kreatif cerpenis Yogyakarta/Foto: Hermard
Referensi terakhir adalah Minder ing Rat, berisi tiga puluh dua proses kreatif penciptaan cerpen dilengkapi  karya cerpen yang dijadikan objek pembicaraan. Dengan demikian pembaca di samping memahami proses kreatif penciptaannya, juga langsung dapat membaca cerpennya.

Penulis muda kreatif, Eko Triono, lewat "Ikan Kaleng dan Saya dalam Kaleng"  menceritakan proses kreatif penulisan cerpen pilihan Kompas "Ikan dalam Kaleng" terinspirasi dari  empat orang Papua yang sedang menjalankan studi magister dan kos di Karangmalang.

Eko Triono  bersama pengagum/Foto: dokpri Hermard
Eko Triono  bersama pengagum/Foto: dokpri Hermard
"Saya menulis cerpen Ikan Kaleng ketika berada dalam kaleng yang lain. Pada waktu yang raib, saya pernah ada dalam kaleng ruh, kaleng rahim, kaleng bayi, dan seterusnya sampai pada saat di kaleng mahasiswa  saya menulis cerita. Bukan hanya kaleng  dalam arti sebentuk tanda dalam usia, tapi juga ruang dalan bidang, kos-kosan di Yogyakarta," jelas Eko.

Evi Idawati/Foto: Hermard
Evi Idawati/Foto: Hermard
Di sisi lain, Evi Idawati dalam tulisan "Pengalaman tanpa Batasan" meyakini bahwa tidak setiap orang mempunyai kesadaran bahwa pengalaman dalam  hidup menjadi gerbang pembuka sebuah pemahaman. Membuat seseorang mampu menemukan jendela  dan pintu untuk masuk ke dalam "imajinasi" yang tak terbayangkan, tanpa batasan dengan penuh keimanan, keyakinan, dan kemantapan. Baik atau buruk jenisnya, hanya persoalan sudut pandang dan bekal wacana yang dimiliki untuk menamai.

Beberapa proses kreatif penulisan cerpen lainnya dapat  dibaca melalui "Menulis Cerita dengan Sudut Pandang Tuhan" (Asef Saeful Anwar), "Naskah Percakapan yang Bisa Terjadi di Mana Saja" (Ikun Sri Kuncoro), "Menulis Peristiwa dan Masa Lalu" (Sule Subaweh), dan "Pencurian Ikan, Kampung Pesaren, Nelayan Tionghoa" (Sunlie Thomas Alexander).

Trilogi proses kreatif/Foto: Hermard
Trilogi proses kreatif/Foto: Hermard
Akhirnya, buku trilogi Ngelmu iku Kelakoni Kanthi Laku diharapkan dapat menjadi panduan merenik dalam menghayati proses kreatif penulisan karya sastra yang dilakukan oleh sastrawan Yogyakarta. (Herry Mardianto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun