seratus, setiap murid pasti senang, ingin jingkrak-jingkrak sekehendak hati. Tapi apakah situasinya sama saat tulisan di platform  Kompasiana mencapai angka seratus? Kompasianer ingin  jingkrak-jingkrak mengelilingi Gelora Bung Karno sambil menyanyikan Pamer Bojo Didi Kempot? Hem, enggak nyambung banget ya? Yo ben, sakarepku to!
Saat sekolah, ketika mendapatkan ponten atau nilai ulanganPagi ini genap seratus tulisan tayang di platform Kompasiana. Kalau satu hari satu tulisan, berarti sudah kurang lebih seratus hari saya menulis. Saya menulis menuruti ajaran Pramoedya Ananta Toer: menulislah apa pun, jangan takut tulisanmu tidak dibaca orang, yang penting tulis, tulis, dan tulis! Jadilah saya terus menulis, tak peduli dengan hasilnya.Â
Nekat menulis dalam katagori cerpen, puisi, hobi, ruang kelas, sosbud, diary, seni, dan entah apalagi.Â
Begitu tulisan lahir mak ceprot, nasibnya saya serahkan sepenuhnya ke admin Kompasiana. Entah mau diberi label artikel pilihan atau tidak ada labelnya sama sekali. Bisa jadi setelah beberapa waktu kemudian diberi label artikel utama.Â
Label terakhir ini serasa mendapat durian montong yang jatuh dari pohon. Itu kata kompasianer yang sudah ratusan menayangkan karya tulis tapi terlalu sulit mendapatkan label artikel utama.Â
Kalau saya sih mengalir saja. Toh katanya setiap tulisan mempunyai takdirnya sendiri-sendiri. Betulkan Pak Tjiptadinata Effendi?
Menulis di Kompasiana ternyata seperti melakoni hidup. Penuh rintangan, cobaan, dan tidak baik-baik saja. Dua kali saya mendapat surat cinta lewat pemberitahuan Kompasiana. Pertama karena ke-gaptek-an saya dalam menyomot foto. Kedua karena keteledoran saya memuat tulisan yang ternyata didukung oleh data yang sama.Â
Maklum karena faktor U alias usia, saya tidak ingat kalau data itu pernah ditulis dalam tulisan dengan judul berbeda. Untungnya admin Kompasiana tetap berbaik hati tidak mensuspen saya, hanya sebatas memberi peringatan. Ah, terima kasih admin Kompasiana.
Hadirnya ke seratus tulisan itu tentu berkat dukungan dan motivasi dari sesama kompasianer. Terima kasih segede kapal induk, seluas samudera tanpa tepi kepada Ibu Roselina Tjiptadinata (lahir di Solok, Padang), Mbak Hennie Triana Oberst (penyuka perjalanan dan budaya), Mas Irwan Rinaldi Sikumbang (penikmat kehidupan), Pak Rd (penulis apa pun), Pak Mochamad Syafei (guru SMP), Mbak Wiselovehope (penulis produktif), Mbak Martha Weda (suka nyanyi), Mas Charles Dm (verba volant, scripta manent),  Mbak Theresia Martini, Mbak Indah Novita Dewi (ASN),  (Mas) Ayah Tuah (penyair), Mbak Yustisia Kristiana (dokumenter), Mbak Ety Supriyatin (just be myself), Neng Itha Abimanyu (penyair, pengangguran), Mas Ahmad Fatch, Mas Sigit Eka Pribadi, Mbak Dian S.Hendroyono (jurnalis), Mas Tonny Syiariel (fotografer), Mas Suna  Amiruddin D Falah, Mas Ahmad Syaihu, Mbak Yusriana Siregar Pahu (Bunda), Mas Indrian Safka Fauzi, Mbak Suprihati, Mas Inosensius I.Sigaze, Ibu Neni Hendriati, Bapak Tjiptadinata Effendi, Mbak Patter, dan puluhan nama lainnya yang sudah memotivasi saya untuk terus menulis.
Tentu hormat dan takzim saya kepada admin Kompasiana yang sudah memberi respek dan peringatan agar bisa menulis lebih baik lagi.