Dalam perbincangan sastra di tengah-tengah penulis pemula, Tantri mengajukan pertanyaan: Apakah  perlu meluruskan pembaca yang salah dalam mengapresiasi atau membaca puisi-puisi saya yang sudah beredar ke tengah masyarakat luas?
Tentu membela karya (terlebih karya sastra, genre apa pun) akan merupakan pekerjaan sia-sia, mubazir, seperti menggantang asap. Pertama, masing-masing pembaca mempunyai horison harapan tertentu, setidaknya sesuai dengan pengalaman, latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial budaya, keyakinan, dan referensi.Â
Kedua, sastra merupakan  karya multy interpertable, sehingga pembaca mempunyai kebebasan penuh dalam menafsirkan.Â
Ketiga, penciptaan karya sastra yang baik  tentu dengan menempatkan ruang-ruang terbuka bagi pengembangan  imajinasi pembaca.
Esensi karya sastra berbeda dengan karya ilmiah yang dalam pemahamannya menuntut keseragaman, pemakaian bahasanya bermakna tunggal. Artinya pemakaian bahasa dalam karya ilmiah tidak dapat menembus batas-batas referensial. Â
Hal ini bertolak belakang dengan bahasa dalam karya sastra yang mempunyai makna konotatif dan mampu menembus batas-batas referensial. Kata bunga dalam karya sastra bisa dimaknai sebagai gadis cantik, sedangkan dalam karya ilmiah, secara referensial kata bunga mengacu pada dunia perbankan dan botani.
lomba. Meskipun yang dibacakan/ditampilkan karya yang sama, tapi setiap peserta mempresentasikan dengan cara berbeda. Â
Contoh sederhana berkaitan dengan pembacaan/pementasan karya sastra (puisi, cerpen, naskah drama/monolog) Â dalam sebuahHal ini karena masing-masing peserta mempunyai apresiasi yang berbeda. Perbedaan ini akan melahirkan cara pembacaan yang tidak sama. Terjadi kreativitas dalam cara membangun daya pukau pembacaan agar audience tersihir dan menghayati karya sastra yang dibacakan.Â
Cara yang ditempuh dengan memberi sentuhan berbeda, mempertimbangkan vokalisasi: power, nada, irama, speed, dan bagian klimaks dalam karya sastra.
Pembacaan puisi "Aku" karya Chairil Anwar, misalnya, tidak harus dibacakan secara heroik, berteriak lantang. Mungkin saja ia dibacakan dengan biasa saja, nada datar dan speed lambat. Bukankah Chairil Anwar juga merupakan penyair eksistensialisme yang suka merenung?
Karya  kita yang kemudian beredar di tengah masyarakat, tidak perlu dibela lagi. Sebab karya itu sudah menjadi milik masyarakat. Bebas ditafsirkan oleh pembaca, ia menemukan takdirnya sendiri dalam pemikiran setiap orang yang tidak selalu sama.
Begitu juga karya-karya yang dimuat di platform Kompasiana. Sebagai penulis kita tidak usah membela  ke admin Kompasiana, mengapa tulisan yang kita ciptakan dengan berdarah-darah tidak menjadi artikel pilihan atau bahkan artikel utama.Â
Lalu apa yang harus kita lakukan? Jawabannya tentu sangat sederhana: ya menulis, menulis, dan terus menulis...(Herry Mardianto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H