Bagaimana Anda memaknai persahabatan sejati? Apakah cukup dengan menjaga peseduluran seumur hidup, atau justeru saling tegur sapa dalam perjalanan waktu, memberi letupan-letupan kreativitas?
Sejak tahun 1982 sampai hari ini, saya  berkawan karib  dengan Mas Noer Indrijatno, adik kelas saat kuliah di Universitas Gadjah Mada. Setidaknya kami sudah menjalin persahabatan secara kreatif selama  tiga puluh tahun lebih.Â
Persahabatan kreatif? Iya  kami dekat demi mewujudkan hal-hal luar biasa (bolehkan narsis memuji diri sendiri?), baik bagi kami maupun orang-orang di sekitar, juga bagi masyarakat luas.
Ketika mahasiswa, berdua menggagas berdirinya kelompok musik Watoni (waton muni--asal bunyi). Â Mas Noer pintar main alat musik, bisa nyanyi-sungguh suaranya mirip Leo Kristi, mampu menciptakan nada/notasi dan mengarasemen lagu.Â
Sedangkan saya berbakat mengorganisasi teman-teman, menyusun jadwal latihan, selalu siap dengan materi puisi untuk dinyanyikan. Nama Watoni pelan-pelan menjadi legenda di Fakultas Sastra UGM.
Setelah masing-masing bekerja, menikah, punya anak, tali silaturahmi  menjadi marwah yang tetap terjaga.
Saat Mas Noer memiliki gagasan menerbitkan majalah pariwisata Jelajah Jogja, lelaki penyuka sepeda onthel (dikenal dengan nama Mbah Kidir) itu pun menggandeng saya.Â
Begitu pula saat menghadirkan Leo Kristi tampil di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, kami pun terlibat sebagai koordinator penyelenggara.
Sebagai penyuka sepeda onthel, Mas Noer sempat membawa sepeda Fongers tua (tahun 1930-an) pemberian mertua yang saya taruh di halaman samping rumah. Beberapa kali sepeda itu ditawar tukang rongsok sebagai barang bekas, tapi selalu saya tolak.Â
Sepeda itu kehujanan dan kepanasan, hanya saya tutupi perlak plastik. Sampai suatu ketika Mas Noer bertamu ke rumah dan sangat tertarik dengan sosok onthel penuh karat.Â
Singkat cerita, onthel berpindah tangan. Beberapa bulan kemudian saya dikirimi foto sepeda mengkilap. Tentu saya terperengah setelah membaca catatan yang menyertai foto itu.
"Mas, terima kasih atas pemberian onthel-nya. Sekarang fongers menjadi salah satu koleksi unggulan. Ini foto proses perbaikannya."
Berikutnya, kami terlibat menerbitkan  buku Yogyakarta Menjaga Kekayaan Budaya, Museum: Jendela Memaknai Peradaban Zaman, Koleksi Etnografi Museum Negeri Sonobudoyo, Seribu Candi di Sleman, Sustainable Corporation (PT Semen Gresik), MICE Jogja-Jateng, dan beberapa buku lainnya.
Kami berdua memang termasuk golongan orang nyeleneh, Â ndregil, suka bermain di luar zona nyaman. Bahkan terkadang orang menilai kami sebagai orang gendheng. Alasannya, karena kami sering mengambil keputusan di luar dugaan, tak terjangkau nalar.
Salah satu yang tak dinyana teman-teman dekat adalah saat kami dipercaya membuat buku company profile PT Pupuk Sriwidjaja dalam rangka menandai satu dasawarsa perjalanan Pusri sebagai holding company.
Tidak main-main, buku Synergy for Creating Values (PT Pupuk Sriwidjaja) diharapkan mampu mencerminkan kerja keras yang dilandasi oleh kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan upaya manajemen mengomunikasikan kiprah dan sumbangsih Pusri dalam pembangunan nasional.
Dengan begitu, tidak ada pilihan lain kecuali mewujudkan buku itu sebaik mungkin, baik dari sisi tampilan maupun isi. Orang  pasti berpikir, buku ini berkaitan dengan pupuk dan kemajuan perusahaan besar, maka sebaiknya yang memberi pengantar adalah mereka yang menguasai bidang pertanian, kimia, botani, manajemen, atau pecinta lingkungan hidup.Â
Yaps,  pendapat ini tak ada salahnya. Menggambarkan pemikiran yang lurus-lurus saja. Tentu berbeda pemikiran itu dengan kami, dua orang berpikiran nyeleneh bin  aneh!Â
Kami justeru berpikir bagaimana kalau pengantarnya ditulis orang "biasa", Â jauh dari urusan pupuk dan pengetahuan soal perusahaan?
Orang yang akrab dengan imajinasi, selalu menghadirkan tokoh wong cilik dan alam pedesaan dalam karya-karyanya?Â
Alasannya, bukankah pupuk merupakan sahabat dekat wong cilik dan masyarakat pedesaan?
Maka kami pun sowan ke Pak Ahmad Tohari di Jatilawang, Banyumas, meminta beliau memberi pengantar.
"Iya Mas Noer dan Mas Herry, saya merasa terhormat. Semoga tulisannya nanti tidak mengecewakan sampeyan yang sudah datang dari jauh-jauh dari Yogya," ujar Ahmad Tohari saat kami berpamitan.
Setelah buku itu terbit, bukan saja kami menerima pujian dari petinggi PT Pupuk Sriwidjaja  dari sisi tampilannya, tetapi mereka mengacungi jempol setelah membaca kata pengantar yang ditulis Ahmad Tohari.Â
Dengan cerdik tulisan itu menggambarkan perkenalan Tohari kecil dengan pupuk urea, bagaimana lidi jika disatukan akan menjadi kekuatan besar, seperti  saat seluruh fungsi-fungsi organisasi  PT Pusri Sriwidjaja bersinergi.
Bagaimana, sudah siap membangun persahabatan dengan mengedapankan kreativitas dan kerelaan saling berbagi? (Herry Mardianto)Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H