Keistimewaan antologi Sekaring Pasamuwan ditandai dengan perbedaan latar belakang geografis penulis. Mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sehingga pembaca akan menemukan cerita dengan  ragam/dialek Banyumasan,  Osing, Cirebonan dalam satu antologi.
Kehadiran antologi cerkak Sekaring Pasamuwan (2020) yang digagas oleh  Komunitas Baladjawa, setidaknya membuktikan tiga hal penting: (1) generasi muda/milenial tetap peduli dan mau terlibat dalam penulisan cerita pendek berbahasa Jawa (cerkak); (2) campur tangan pengayom memegang peran penting dalam menghidupi dan menghidupkan kesenian (dalam konteks ini sastra Jawa); serta (3) antologi ini memperlihatkan bahwa wong jawa isih njawani---mampu berbahasa Jawa dan memanfaatkan dengan cerdas kekayaan ragam/dialek bahasa Jawa dalam karya fiksi.
Dari sisi pembinaan kepenulisan sastra, keberadaan antologi Sekaring Pasamuwan hadir sebagai  "pemantik" bagi penulis sastra Jawa agar terus berkarya dan meningkatkan kualitas kepenulisan.Â
Antologi Sekaring Pasamuwan memuat  35 cerkak, ditulis  oleh siswa SLTA, mahasiswa, guru, dosen, editor, dan beberapa penulis yang karyanya sudah dimuat dalam berbagai media dan atau diterbitkan dalam bentuk buku.Â
Beragam profesi tersebut menghadirkan berbagai permasalahan yang akrab dengan dunia mereka masing-masing; antara lain percintaan, keluarga, sosial, kesenian/tradisi, dan kekuatan adikodrati.Â
Dilihat dari latar belakang geografis, penulis berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sehingga pembaca akan menemukan dan merasakan cerita  dengan bahasa Jawa ragam/dialek Banyumasan ("Mbah Karta Ngenteni Ba'da" karya Agustav Triono,  "Tresna lan Runtah" karya Bagus Sulistio,  "Apa Ora Olih Miyangga Ngrasa Tresna?" karya Juli Prasetya, "Makam Eyang Karta" karya Muharsyam Dwi Anantama, "Soklat Kanggo Biyunge" karya Pensil Kajoe, "Klakson" karya Ryan Rachman,"Klambi Bada" karya Suryanto, "Lunga Tanpa Ukara" karya Vera Anggraeni, ) ragam/dialek Osing ("Sega Liwet" karya Nur Holipah) ragam/dialek Cirebonan ("Sekola Plastik" karya Jaki Yudin).Â
Kekayaan lokalitas (ragam/dialek) menandai spesifikasi masing-masing cerkak sehingga menciptakan estetika tersendiri, mampu menimbulkan rasa penasaran dan keingintahuan pembaca yang  tidak akrab dengan budaya/bahasa banyumasan, cirebonan, dan jawa timuran terhadap makna kata yang dipilih atau digunakan para penulis. Â
Di sisi lain, pemanfaatan ragam/dialek bahasa tersebut sesungguhnya "secara diam-diam" membawa konsekuensi bahwa karya-karya yang dihasilkan tidak akan mudah dipahami oleh pembaca sastra Jawa dari luar wilayah Banyumas, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Proses kreativitas bersastra tidak dapat melepaskan diri dari realitas sosial. Dalam konteks ini kita mendapatkan "kebenaran" gagasan kritis Marxis yang menyatakan bahwa  karena susunan artistiknya maka karya  sastra dapat menampilkan  suatu gambaran menyeluruh mengenai kenyataan.Â
Seperti kita ketahui, Â imajinasi bukanlah satu-satunya syarat mutlak terjadinya kreativitas dalam bersastra. Hal ini dikaitkan dengan asumsi bahwa tidak ada cerita pendek yang lahir dari ruang kosong, sekadar khayalan, meskipun sifatnya fiktif.Â
Bukankah kehidupan (kenyataan empiris) merupakan bahan baku yang selalu diolah untuk menciptakan cerita (cerkak) yang merupakan hasil penafsiran timbal-balik atas nilai-nilai kehidupan?Â
Beberapa cerkak dalam antologi ini menampilkan gambaran kehidupan orang Jawa dalam menghayati kepercayaan terhadap alam gaib, budaya, tradisi, dan perkembangan zaman. Â Â
Magnis Suseno dalam buku Etika Jawa menjelaskan bahwa bagi orang Jawa, alam nyata (empiris) berhubungan erat dengan alam gaib. Pengalaman empiris orang Jawa tidak pernah empiris semata-mata.Â
Cerkak "Makam Eyang Karta" mengabstraksikan sikap hormat terhadap nenek moyang. Tokoh Mbok Darmi nglakoni tradisi masyarakat  desa Lebeng dengan membersihkan  makam Ganggong, di dalamnya terdapat nisan Eyang Karta---diyakini  sebagai orang sakti mandraguna, salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro.Â