Kondisi ini, menurut Kuntowijoyo, mendorong Padmosusastra---yang  semula adalah abdi dalem---memaklumkan  dirinya menjadi orang merdeka.Â
Dengan kata lain, ketika Ngabehi Kartopradata berubah menjadi Ki Padmosusastra dengan pernyataan sebagai tiyang merdika ingkang marsudi kasusastraan Jawi 'orang merdeka yang memberi perhatian terhadap sastra Jawa'; (disadari atau tidak) merupakan babak baru dalam sejarah kesusastraan Jawa---yaitu hadirnya sastra priyayi.Â
Barometer babakan baru tersebut adalah terlepasnya pengarang dari patron kraton, dalam arti pengarang memiliki kebebasan secara individual.Â
Dalam karya sastra priyayi, keinginan  nggayuh utami tergantikan oleh cita-cita mobilitas sosial dalam arti mencari tempat dalam masyarakat baru. Contoh  representatif  kasus ini ditunjukkan oleh Kuntowijoyo dengan hadirnya  penerbitan terjemahan  Serat Pamoring Jaler Estri yang diperuntukkan bagi warga perkumpulan  kaum priyayi Abipraya.Â
Disebutkan dalam buku tersebut  bahwa upaya terjemahan buku-buku Belanda penting untuk kemajuan  Jawa. Buku yang dikerjakan pada tanggal 15 Juni 1905 itu memuat lukisan etnografis mengenai hubungan laki-laki  dan perempuan pada banyak suku.Â
Selain untuk menambah ilmu pengetahuan tentang etnografi, buku tersebut juga dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kesopanan (a sense of decency) dalam hubungan suami-istri---orang  Jawa ternyata mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik dibanding banyak suku-suku lain.
Tema yang hampir sama ditulis oleh Suwarsa dalam Bab Alaki Rabi: Wayuh Kaliyan  Mboten (1912),  menyarankan  agar para priyayi melakukan monogami. Kritik tersebut ditujukan Suwarsa kepada kebiasaan kaum bangsawan yang selalu mempunyai selir.
Rujukan: Widyasastra, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H