Dalam konteks budaya Jawa, pendidikan dapat berarti pemahaman terhadap unggah-ungguh, penempatan diri dalam kehidupan sehari hari dalam tegangan konsep alus, kasar, dan rasa.Â
Tampilnya Pethi Wasiyat dan Kirti Njungjung Drajat jelas menampakkan dinamika Jasawidagda karena dunia tradisional sudah tidak mendominasi keseluruhan cerita.
Jasawidagda  menanggapi perubahan sosial budaya dengan tetap menaruh hormat kepada budaya tradisional. Sikap ini serupa dengan sikap Ki Hadjar Dewantara dalam menanggapi polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane.Â
Kenyataan ini berbeda dengan yang tergambar dalam Kirti Njunjung Drajat; walaupun masih berpegang pada nilai nilai tradisional, tetapi novel ini terasa lebih progresif dalam menerima perubahan sosial budaya.
Perubahan yang terjadi tidak hanya tergambar lewat sikap sikap tokoh tetapi melebar ke alam pikiran tokoh, ke dunia konsep kesadaran penerimaan pembaharuan. Novel seperti ini tercipta karena Jasawidagda tampil sebagai kaum intelektual Jawa keturunan bangsawan yang memperoleh pendidikan Barat relatif memadai (sekolah di Kweekschool), aktif dalam organisasi sosial kemasyarakatan.Â
Sebagai intelektual modern, tentu saja Jasawidagda memiliki wawasan  luas, mampu memprediksi perubahan-perubahan yang akan terjadi, sehingga mobilitas pergeseran priyayi bukanlah sesuatu yang dirasa istimewa---pergeseran  tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan memang harus terjadi.Â
Lewat Kirti Njunjung Drajat, Jasawidagda berupaya menyatakan bahwa faktor uang dan materi memegang peranan bagi masyarakat yang akan datang (modern) dalam rangka pembentukan status seseorang yang secara keseluruhan akan membentuk struktur sosial dalam masyarakat.
Rujukan: Widyasastra, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H