Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Karya Sastra dan Perubahan Pola Pikir Masyarakat (Pengarang) Jawa

10 Februari 2023   07:29 Diperbarui: 10 Februari 2023   17:03 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastra dan ideologi/Foto: Hermard

Setelah tahun 1960-an, tema-tema yang muncul dalam karya sastra Jawa kian beragam, hal ini terjadi karena sejak tahun 1950-an (Damono) pengarang dan pembaca di Indonesia (termasuk di dalamnya pembaca sastra Jawa) mulai berkenalan dengan berbagai jenis sastra karya sastrawan dunia lewat karya-karya terjemahan.

Di samping terjadinya perubahan sosial sejalan dengan terbebasnya bangsa Indonesia dari penjajahan, peningkatan pendidikan, dan terjadinya demokratisasi. Tidak mengherankan jika pada dasarwarsa 1950-an terbit sejumlah karya sastra Jawa yang mulai menggeser dan "menenggelamkan" karya-karya sastra piwulang.

Novel yang dianggap penting bagi sejarah sosial adalah Serat Riyanta yang memiliki kesejajaran tema dengan Galuga Salusursari (Mas Ngabehi Mangoenwidjaja, 1921), Katresnan (M. Soeratman, 1923), Larasati Modern (Sri, 1938), Kirti Njunjung Drajat (Jasawidagda, 1924), Gawaning Wewatekan (Koesoemadigda, 1928), dan Sapu Ilang Suhe (Hardjawiraga, 1921), semuanya memiliki tema modern  meliputi penolakan kawin paksa, penolakan terhadap dunia priyayi, dan adanya keinginan hidup mandiri.

Tonggak perjalanan sastra Jawa/Foto: Hetmard
Tonggak perjalanan sastra Jawa/Foto: Hetmard
Kuntowijoyo  memandang Serat Riyanta sebagai novel priyayi bukan saja karena mengungkapkan dengan jelas kehidupan priyayi luhur, keturunan bangsawan, dan priyayi jabatan yang berasal dari orang kebanyakan, melainkan adanya keinginan besar pengarang  mempertemukan priyayi dan priyayi jabatan sehingga Riyanta harus bertemu dengan Srini. 

Tidak ada suasana konflik kelas dan kritik sosial dalam novel ini---pada  waktu Riyanta menikahi Srini, maka sempurnalah cita-cita priyayi baru untuk menyatakan dirinya: "sanalika sirna rikuhipun, wasana lajeng amangun lutut"---dengan demikian, bentuk priyayi baru mendapatkan legitimasi.

Penolakan terhadap dunia priyayi (suatu jagad komunitas yang merupakan lambang "kemuliaan hidup" bagi orang Jawa) dibeberkan dalam Kirti Njunjung Drajat (Jasawidagda, 1924) dan Gawaning Wewatekan (Koesoemadigda, 1928). 

Latar sosial tokoh Darba (Kirti Njunjung Drajat) serta Endra (Gawaning Wewatekan) mampu memberikan reaksi terhadap tradisi masyarakat Jawa sehingga menimbulkan tema  kurang lazim dalam sastra Jawa modern, yaitu pemberontakan terhadap tradisi masyarakat Jawa yang mengagung-agungkan dunia priyayi. 

Dalam Kirti Njunjung Drajat, tema tersebut dipaparkan secara eksplisit  lewat pernyataan bahwa orang yang dihormati adalah orang yang mempunyai uang dan pikiran, bukan ditentukan oleh kedudukan seseorang sebagai priyayi  atau wong cilik.

Pertanyaan yang patut dikedepankan adalah mengapa lahir karya karya sastra Jawa modern yang menggugat dunia kepriyayian? Mengapa Jasawidagda (sebagai seorang priyayi---ia mendapatkan gelar Raden Tumenggung dari Mangkunegaran) tiba tiba "menjungkirbalikan" dunia priyayi? 

Pertanyaan kedua itu menarik untuk dicermati lebih jauh karena sebelum hadirnya Kirti Njunjung Drajat, Jasawidagda lewat beberapa karyanya selalu berpegang dan menawarkan konsep konsep dalam bidang pendidikan budi pekerti. 

Secara umum dapat disebutkan bahwa sebagian besar karya karya Jasawidagda berisi etika atau bersifat didaktis (Soeprapto, 1991). Karyanya Karaton Powan (1917), Jarot I-II (1922 dan 1931), dan Pethi Wasiyat (1938), berisi ajaran moral tentang keharusan seorang anak ngabekti kepada orang tua.

Keberanian Jasawidagda "menjungkirbalikkan" dunia priyayi dalam Kirti Njunjung Drajat, tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupan Jasawidagda yang berpengaruh terhadap proses kreativitasnya dalam berkesenian; bagaimana konsep didaktis yang ditawarkan Jasawidagda bergerser ke arah "penjungkirbalikan" dunia priyayi. 

Profesinya sebagai guru turut membingkai Jasawidagda dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik yang berusaha mengalihkan pengalaman, pengetahuan, dan kecakapan kepada generasi muda sebagai upaya menyiapkan agar generasi muda dapat memenuhi fungsinya sebagai masyarakat Jawa, baik secara jasmaniah maupun rohaniah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun