Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Karya Sastra dan Perubahan Pola Pikir Masyarakat (Pengarang) Jawa

10 Februari 2023   07:29 Diperbarui: 10 Februari 2023   17:03 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jejak Langkah Pram/Foto: Hermard

Dominasi karya-karya yang bersifat hiburan dan didaktis di dalam karya sastra Jawa modern pada awal pertumbuhannya bertolak dari asumsi sebagian masyarakat Jawa bahwa keberadaan karya sastra  untuk didengarkan  dan bukan untuk dibaca. 

Beralasan kiranya jika kemudian ada yang menyatakan bahwa  sampai tahun 1960-an kesadaran keterlibatan pengarang dengan dunia pendidikan masih tampak dengan jelas.

Keadaan  kurang menguntungkan ini mengondisikan karya sastra Jawa modern menjadi karya  romantik didaktik atau naratif fiktif. Di dalam karya-karya  naratif fiktif,  karya sastra Jawa  terjebak dalam konsep isi sing migunani.

Perubahan corak di dalam karya sastra tidak hanya  terjadi pada sifat dan bentuk karya sastra, tetapi  menyangkut pandangan pengarang mengenai berbagai hal yang melingkupinya.
Persoalan yang selalu mengundang perhatian dalam karya sastra yang tumbuh dan berkembang di Indonesia (juga negara lain) adalah persoalan ideologi, nasionalisme, dan kebudayaan. 

Ketiga persoalan itu menjadi menarik karena tidak dapat dilepaskan dari persoalan perkembangan masalah sosial politik, dan ketiganya berada dalam dua sisi mata uang  tak terpisahkan. Ideologi telah menjadi bagian yang tak terelakan dari sejarah kehidupan manusia. 

Kasus pelarangan novel-novel panglipur wuyung pada tahun 1960-an, pengadilan atas  cerita pendek "Langit Makin Mendung" karya Ki Panji Kusmin dan rangkaian novel Bumi Manusia serta Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, tidak dapat dilepaskan dari persoalan ideologi.

Sastra dan ideologi/Foto: Hermard
Sastra dan ideologi/Foto: Hermard

Jejak Langkah Pram/Foto: Hermard
Jejak Langkah Pram/Foto: Hermard
Di sisi lain, narasi tentang nasionalisme dan kebudayaan terus menjadi daya tarik dan sumber bagi penulisan karya sastra. 

Dalam sastra Indonesia, diskurs narasi nasionalisme dan kebudayaan berpangkal dari polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan beberapa tokoh lain yang mempersoalkan sikap bangsa Indonesia dalam memasuki kebudayaan baru: pertentangan masyarakat feodal-kolonialisme dengan kapitalisme Barat.

Sejalan dengan Sutan Takdir Alisjahbana, Tjipto Mangoenkoesoemo melihat bahwa peningkatan kesejahteraan penduduk (Jawa) merupakan tugas paling penting; dan untuk itu orang Jawa harus belajar ilmu pengetahuan dan teknologi Barat---kebudayaan  dan bahasa Jawa sama sekali tidak ada gunanya.

Di sisi lain, bertolak belakang dengan gagasan Tjipto Mangoenkoesoemo, Soetatmo Soerjokoesoemo (yang kemudian mendirikan Taman Siswa bersama Soewardi Soerjaningrat) berpandangan bahwa hanya nasionalisme Jawa yang memiliki landasan  kuat, tempat orang Jawa dapat membangun masyarakat politiknya di masa depan. 

Diskurs tersebut setidaknya tergambar lewat Kirti Njunjung Drajat (Jasawidagda, 1924) dan Gawaning Wewatekan (Koesoemadigda, 1928), keduanya mengedepankan tema perlawanan terhadap tradisi masyarakat Jawa yang mengagung-agungkan dunia priyayi dan hegemoni kekuasaan: tradisi versus modernisasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun