Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa: Letupan Cinta Kasih

1 Februari 2023   11:55 Diperbarui: 1 Februari 2023   12:44 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angon bebek, mepe pari/Foto: Hermard

Hari masih terlalu pagi saat Mbok Sapa ditemani dua buruh tandur lainnya merentangkan blak, bentangan bilah bambu cukup panjang yang diberi tanda setiap jarak dua puluh centimeter agar benih padi bisa tertanam berjajar rapi. Petak sawah yang ditanami seluas enam ratus meter persegi.

Tandur Mbok Sapa/Foto: Hermard
Tandur Mbok Sapa/Foto: Hermard
"Mbayare sak eklase, Mas. Mboten migantung ambane sawah. Njih nek kirang, mboten napa-napa, kula anggep kangge sadakoh. Urip niku perlu tinulung," jelas Mbok Sapa saat ditanya penghasilannya sebagai buruh tandur pari.

Intinya ia ikhlas dibayar berapapun, tidak ada patokannya. Jika dibayar tidak sesuai keinginannya, tidak menjadi soal karena hidup harus saling tolong-menolong, perlu sedekah.
"Niki mangke sakderengi lohor sampun rampung Mas...."

Buruh Tandur/Foto: Hermard
Buruh Tandur/Foto: Hermard
Sawah seluas enam ratus meter persegi itu akan selesai ditanami padi oleh para buruh sebelum saat salat zuhur. Hem, betapa perempuan desa merupakan pekerja keras demi mencukupi keperluan hidup keluarga.

Damainya desaku/Foto: Hermard
Damainya desaku/Foto: Hermard
Begitulah gambaran hidup orang desa di pinggiran Sleman.  Selama dua puluh tahun lebih saya dan keluarga menempati perumahan di wilayah Jamblangan, Seyegan, Margomlyo. Perumahan yang kami tempati menyatu dengan masyarakat desa, tidak ada tembok keliling yang membatasi hubungan warga perumahan dengan masyarakat desa. Bahkan masyarakat desa bebas melewati jalan perumahan untuk akses ke sawah, warung, masjid, maupun ke desa tetangga. 

Angon bebek, mepe pari/Foto: Hermard
Angon bebek, mepe pari/Foto: Hermard
Kami bersosialisasi dengan mengikuti tradisi masyarakat desa yang  sense of belonging-nya terhadap tradisi masih begitu kuat. Mereka masih mengadakan selamatan untuk kelahiran hewan piaraan (khususnya sapi) dengan membagikan brokohan (berupa nasi gudangan), melaksanakan acara ruwahan, nyadran, perayaan (gotong royong), lek-lekan kelahiran bayi, dan memetri desa.

Harmonosasi/Foto: Hermard
Harmonosasi/Foto: Hermard
Saya menjadi paham dengan ilmu titen mereka untuk beradaptasi dengan alam. Jika musim kemarau, mereka memilih berternak ayam. Sebaliknya jika musim penghujan tiba mereka beralih memelihara bebek.

"Kok ganti angon bebek Pak?"
"Ayami pun disade Mas. Kalau musim hujan banyak yang gering, mati!" ujar Pak Marjoko menjelaskan. "Sekarang lagi banyak air, kami beralih ke bebek petelur. Memeliharanya lebih mudah, cukup diumbar ke sawah, mereka mencari makan sendiri.  Dan telurnya melimpah." 

Pak Marjoko memang keluarga petani.  Istri, anak dan menantunya, semua bahu- membahu mengurusi sawah dan hewan  piaraan mereka. Kerja mereka seakan tak pernah berhenti: menanam padi, kacang, cabe.  Di samping itu, setiap hari  mengurusi  puluhan sapi, ayam, dan bebek, serta membersihkan kandang.

Membajak sawah/Foto: Hermard
Membajak sawah/Foto: Hermard
Urusan sawah  dikerjakan  hampir setiap hari, sehingga   aroma tubuh mereka adalah bau lumpur pematang sawah. Pak Marjoko dan keluarga  memiliki beberapa petak sawah di seputar desa. Jika  musim panen, mereka juga membeli kacang, padi dari petani lain untuk dijual. 

Pak Mardjoko memiliki gerobak sapi dan beberapa kali saya diajak keliling desa.
"Awi Mas tumut. Ngajari sapi kenal dalan, biar berani ketemu orang."

Saya baru paham kalau sapi penarik gerobak pun harus melalui tahap latihan. Ada dua sapi penggerak gerobak di kanan kiri. Biasanya sapi uji coba (yunior) diletakkan di sebelah kiri, sedang sapi pendampingnya (senior) di sebelah kanan. Sapi senior dipilih yang badannya lebih besar dan sudah terbiasa diajak jalan.

Pak Marjoko dan Mas Bibit/Foto: Hermard
Pak Marjoko dan Mas Bibit/Foto: Hermard
"Ayo, jangan malas, jangan cuma nggandul!" teriak Mas Bibit sambil memecut sapi yunior. 

Saat itu perjalanan sudah hampir dua puluh kilometer, melalui jalan kabupaten dan jalan desa. Sapi yunior tampak mulai terseok. Saya duduk bersebelahan dengan Mas Bibit, putra tertua Pak Marjoko. Pak Marjoko duduk di belakang sambil sesekali menoleh ke belakang, mengawasi situasi lalu lintas di belakang kami. Jika ada kendaraan besar mau mendahului, Pak Marjoko memberi tahu Mas Bibit, "Awas ana sing nyalip, gedhe!"

Bagi masyarakat desa, sapi merupakan hewan peliharaan yang dapat membantu meringankan pekerjaan mereka, entah digunakan sebagai alat transportasi (penarik gerobak) atau membajak sawah. Jika sapi akan melakukan pekerjaan berat, misalnya menempuh perjalanan jauh, mengangkut hasil panen  melebihi kapasitas, maka sapi perlu diberi minuman "suplemen".

Memberi minuman suplemen/Foto: Hermard
Memberi minuman suplemen/Foto: Hermard
Tentu bukan minuman penambah tenaga dalam kemasan. Ia cukup diberi tiga sampai lima butir telur bebek mentah  dicampur madu dan ditaruh dalam bumbung (potongan bambu) untuk digelontorkan lewat congor (mulut) sapi. Sebulan atau dua bulan sekali, minuman penambah tenaga ini selalu diberikan. (Herry Mardianto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun