Di samping itu, ia  mulai berkenalan dengan para seniman/sastrawan Surabaya yang berada di sekitar Percetakan Nasional Surabaya (gedung tempat Panjebar Semangat berkantor). Pergaulan Suparto Brata dengan cerita Jawa kian kental, mengingatkannya pada bacaan terbitan Balai Pustaka, misalnya Ni Wungkuk ing Bendhagrowong, Ngulandara, Tarzan Kethek Putih, Ayu ingkang Siyal, Badan Sepata, dan sebagainya.
Menulis dalam bahasa Jawa bagi Suparto Brata merupakan kepuasan tersendiri karena saat itu tiras majalah berbahasa Jawa cukup tinggi, melebihi tiras majalah berbahasa Indonesia. Dengan demikian, jumlah orang yang membaca karangannya juga cukup banyak dan Suparto Brata mendapat berbagai tanggapan dari pembaca.Â
Hal ini menumbuhkan kebahagiaan tersendiri, ia semakin mantap sebagai penulis sastra Jawa. Dalam mengarang cerita, Suparto Brata sangat teliti. Semua konsep ditulis dengan tangan, kemudian baru diketik. Baginya, ini merupakan hal penting, utamanya kalau menulis cerita detektif. Dengan cara itu, hal-hal yang menjadi pemecahan persoalan, dapat disisipkan pada cerita yang di depan. Naskah dapat lebih matang sehingga sewaktu diketik tidak terdapat banyak kesalahan.
Cara menulis cerita dengan model ditulis tangan dijalaninya sampai tahun 1988, saat ia pensiun dari pegawai Kotamadya.
Untuk meningkatkan penghasilan, tahun 1960 Suparto Brata pindah kerja ke Perusahaan Dagang Negara Djaya Bhakti sebagai operator teleprinter. Di samping gajinya besar, pekerjaan di kantor dapat diselesaikan dalam waktu cepat; dengan demikian waktu luangnya dapat dipergunakan untuk mengarang. Di tempat kerjanya ini, Suparto bertemu Rara Aryanti, yang kemudian dinikahinya.Â
Tahun 1967, PN Djaya Bhakti mengadakan perampingan pegawai. Suparto ikut mengajukan permohonan berhenti. Waktu itu pergaulannya dengan Basuki Rachmat kian akrab. Dari Basuki Rachmat, Suparto Brata banyak belajar mengenai keterampilan menjadi wartawan (memotret, membuat berita, mengarang, dan bermain drama). Suparto Brata kemudian menjadi wartawan lepas, bersama Basuki Rachmat mengelola majalah Jaya Baya dan Gapura.Â
Tahun 1971, Suparto menjadi pegawai negeri (sebagai Humas) di kantor Pemda Surabaya. Penghasilan pokok dan penghasilan tambahan yang didapatkan dari menulis artikel dan cerita membuat ia dan keluarganya mampu hidup layak, mempunyai rumah bagus dan dapat membiayai pendidikan anak-anak.
Keempat anaknya, yaitu Tatit Merapi Brata, Teratai Ayuningtyas, Neo Semeru Brata, dan Tenno Singgalang Brata, semuanya dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dan  menjadi sarjana, hidup mandiri.
Tahun 1988 Suparto Brata pensiun dari pegawai negeri. Ia  bekerja keras karena dari keempat anaknya baru satu yang lulus dari perguruan tinggi, itu pun masih menganggur, ditambah rumahnya di Rungkut Asri III/12 masih harus dicicil, jumlah cicilannya persis sama dengan uang pensiun. Keterampilannya sebagai pengarang dan wartawan benar-benar membantu Suparto Brata mengatasi kesulitan keuangan.Â
Akhir tahun 1989 ia diajak Aswendo Atmowiloto mengelola majalah Praba di Yogyakarta (bekerja di Yogya untuk mempersiapkan penerbitan Praba selama satu tahun lebih, namun akhirnya harus menyerah karena terbentur pada SIUP).
Embrio cerita detektif dalam sastra Jawa berupa cerita alap-alapan yang terdapat dalam cerita pewayangan, antara lain cerita Alap-alapan Siti Sundari, Alap-alapan Rukmini, Alap-alapan Banowati, dan Alap-alapan Surtikanti.
Kata alap-alapan berasal dari kata alap yang memiliki arti '(meng-) ambil'. Dalam konteks pembicaraan ini, cerita alap-alapan berarti cerita yang mengisahkan penculikan (pengambilan) seorang puteri untuk diperistri.
Cerita alap-alapan disebut sebagai prototipe cerita detektif Jawa karena di dalamnya terdapat unsur penjahat (penculik), sasaran kejahatan/penculikan (perempuan), tokoh pelacak, dan cerita penculikan itu sendiri yang dominan dan menentukan perkembangan cerita. Pasca cerita alap-alapan, hadir karya Jasawidagda, Jarot (Balai Pustaka, 1931), berkisah mengenai penangkapan penjual candu gelap --menceritakan penyamaran tokoh Jarot sebagai mata-mata.Â
Kemudian terbit Ni Wungkuk ing Bendha Growong, menceritakan keberhasilan Ni Wungkuk mengungkap rahasia kejahatan. Selain itu, hadir pula cerita Tri Jaka Mulya, Kembang Kapas, dan Gambar Mbabar Wewadi yang kesemuanya memperkuat hadirnya prototipe cerita detektif dalam sastra Jawa.