Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suparto Brata dalam Perkembangan Sastra Jawa Modern

31 Januari 2023   10:15 Diperbarui: 31 Januari 2023   10:30 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suparto Brata berkunjung ke sahabat baiknya yang juga tokoh sastra Jawa, Dhanu Priyo Prabowa/Foto: dokpri Dhanu PP

Menjelang Jepang masuk, ibunya melamar menjadi pembantu di kediaman  Mr. Wongsonegoro, Bupati Sragen. Suparto dan ibunya kemudian tinggal di rumah keluarga Mr. Wongsonegoro. Ia mulai membaca buku (dari perpustakaan sekolah) Cinta yang Membawa Maut, Siti Nurbaya, Kalau Tak Untung, Percobaan Setia, Tiga Orang Panglima Perang, dan sebagainya. Selain senang membaca, Suparto Brata gemar menonton film spionase.

Tahun 1945---1947, bersama ibunya, Suparto Brata mengungsi ke Probolinggo ke tempat kakak satu-satunya, Suwondo (teknisi radio, pegawai perusahaan listrik dan gas). Suparto Brata masuk SMP di Probolinggo, dengan tetap melanjutkan kegemarannya membaca buku dari perpustakaan sekolah  bersama sahabatnya Rubai Kacasungkana. Mereka selalu mendiskusikan buku yang  mereka baca, antara lain Don Kisot, Sepanjang Jalan Raya, Anjing Setan, dan Graaf de Monte Christo. 

Di sekolah, Suparto Brata termasuk anak pandai dalam ilmu pasti. Suwondo, kakaknya, selalu menekankan bahwa bidang teknik merupakan simbol kemajuan zaman dan teknisi adalah orang yang maju, hidup di garda depan. Meskipun Suparto Brata anak pandai, tetapi lama-kelamaan timbul kegelisahan terhadap bidang teknik dan mulai mencari alternatif. Lambat laun ia merasa bahwa sastra  tidak kalah pentingnya dalam kehidupan.

Di Probolinggo hanya sekitar dua tahun, Suparto Brata kemudian pindah ke Surabaya bersama ibunya. Ia meneruskan sekolah di SMP Tempelstraat (Kepanjen), lulus tahun 1950. Ia dan ibunya kemudian pindah ke Solo dan mondok di rumah keluarga di Kemlayan, Keprabon. Waktu itu SMA St. Joseph dibuka, Suparto Brata masuk sebagai murid permulaan. Ia rajin datang ke perpustakaan rakyat di alun-alun, membaca majalah Siasat, Seni, Pedoman, Zenith, dan buku-buku Pramoedya Ananta Toer, serta mencoba mengirimkan cerita ke Mimbar Indonesia. 

Karena keuangan tidak memungkinkan (ibunya  bekerja sebagai buruh batik dan menjadi pengasuh anak), maka ia kemudian ke Surabaya naik sepeda  mencari pekerjaan. Mula-mula bekerja di laboratorium rumah sakit kelamin (Jalan Dr. Sutomo), tetapi tidak kerasan. 

Suparto Brata kemudian ikut kursus operator teleprinter PTT (1953), dan bekerja sebagai operator teleprinter kantor telegrap, Jalan Njagal, Surabaya. Kakaknya sepulang dari Belanda ditempatkan di Surabaya. Ibunya kemudian ditarik ke Surabaya dan mereka kemudian tinggal dalam satu atap (menyewa rumah di Keputran Kejambon). Suparto Brata kemudian meneruskan sekolah yang sempat terhenti, pagi sekolah dan siangnya bekerja. Waktu sekolah di SMAK St. Louis Surabaya, Suparto Brata mulai mengirim karangan ke Siasat, Mimbar Indonesia, dan lain-lain.

Tahun 1955, kakaknya dipindahkan ke Bandung dan ibunya sering berada di Bandung. Suparto Brata bertemu dengan Rubai, sahabatnya di Probolinggo--bekerja di Pabrik Semen Gresik sebagai penerjemah. Keduanya  kemudian menempati rumah kontrakan di Rangkah 5/23B, karena RA Jembawati (ibunda Suparto Brata) memastikan menetap di Bandung. Tinggal bersama Rubai, Suparto Brata merasakan kebahagiaan tersendiri karena mereka mempunyai kesamaan hobi membaca dan berdiskusi. 

Tahun 1956, Suparto Brata berhasil menyelesaikan sekolah. Rubai bekerja sebagai wartawan Surabaya Post dan karena pandai berbahasa Inggris, Suparto Brata  belajar bahasa Inggris kepada Rubai.

Sementara itu terjadi pengusiran orang-orang Belanda dari Indonesia. Buku-buku milik Belanda--banyak buku bahasa Inggris yang diterbitkan untuk tentara sekutu ditinggal pergi pemiliknya--melimpah di loakan. Buku tersebut dijual sangat murah. Suparto Brata memborong buku-buku terbitan Pinguin bersampul hijau (crime and mistery). 

Berkat buku tersebut, Suparto menjadi lancar membaca dan mulai mengenal Agatha Christie, Georges Simenon, Dorothy L. Seyer, dan masih banyak lagi. Untuk mengikuti perkembangan sastra Indonesia, Suparto berlangganan mingguan Siasat dan Mimbar Indonesia.

Roman Suparto Brata/dokpri: Dhanu Priyo P
Roman Suparto Brata/dokpri: Dhanu Priyo P
Pada tahun 1957, Rubai pindah pondokan dekat dengan kantornya. Suparto Brata di rumah sendirian dan sering menghabiskan waktu membaca buku-buku pinjaman dari USIS di Jalan Pemuda. Ia mulai belajar sastra Amerika dan drama. Tidak lama kemudian ibunya kembali ke Surabaya karena kakaknya telah menikah. Suparto tetap bekerja di kantor telegrap dan berhasil membeli mesin tik Remington dari orang Belanda yang terpaksa meninggalkan Indonesia. Dengan berbekal mesin tik tersebut, Suparto mulai mengarang. Tulisannya tidak lama kemudian sering dimuat di majalah terbitan Jakarta.

Tahun 1958 Suparto Brata mengikuti sayembara yang diadakan Panjebar Semangat. Karangannya  berjudul "Kaum Republik" mendapat juara pertama. Sejak itu Suparto Brata berkenalan dengan redaksi Panjebar Semangat, yaitu Cuk Amiwarso, Subekti, Satim Kadaryono, dan lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun