Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suparto Brata dalam Perkembangan Sastra Jawa Modern

31 Januari 2023   10:15 Diperbarui: 31 Januari 2023   10:30 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama Suparto Brata mengacu kepada wilayah kebudayaan Jawa, apalagi jika Suparto Brata tidak enggan menuliskan gelar "Raden" di depan namanya. Hal ini bukanlah sesuatu yang berlebihan karena ia memang merupakan keturunan trah njeron benteng. Ayahnya, Raden Suratman Bratatanaya, dan ibunya,  Raden Ajeng Jembawati, keduanya berasal dari Surakarta---diduga merupakan kerabat Kraton Mangkunegaran. 

Suparta Brata menikahi gadis keturunan darah biru dengan gelar kebangsawanan "Raden Rara" Ariyati. Sebagai orang Jawa tulen, dalam menuliskan tanggal lahir pun Suparto Brata tidak lupa menyertakan weton-nya, yaitu Sabtu Legi, 27 Februari 1932 atau 19 Syawal 1862 Je. 

Meskipun tergolong kaum bangsawan (priyayi), Suparto Brata tidak banyak mengedepankan persoalan-persoalan kepriyayian dalam karya-karyanya, hal ini berbeda dengan Umar Kayam---seorang  priyayi ("Raden Mas" dari Kraton Surakarta) yang memandang sekitarnya dari sudut priyayi sehingga tokoh-tokoh yang diciptakannya, mulai dari "Chief Sitting Bull" sampai "Drs. Citraksa dan Drs. Citraksi", dimainkan dan dilihat dari sudut priyayi.

Priyayi ala Umar Kayam/Foto: Hermard
Priyayi ala Umar Kayam/Foto: Hermard
Jarangnya Suparto Brata menampilkan dunia kepriyayian karena ia tidak mengenal dunia itu dengan baik, tinggal (menetap) di Jawa Tengah hanya sebentar dan itupun ketika berusia belia. Lewat novel Generasi yang Hilang dapat dicermati bagaimana pandangan Suparto Brata terhadap dunia priyayi. Novel Generasi yang Hilang merupakan pemenang kedua sayembara menulis novel  majalah Kartini, kemudian diterbitkan Variasi Jaya (Kartini Grup) pada tahun 1981. 

Priyayi versus wong cilik/Foto: Hermard
Priyayi versus wong cilik/Foto: Hermard
Novel ini merupakan abstraksi dari adanya usaha pelaksanaan proses "kebebasan dari" tradisi ke arah pencapaian "kebebasan untuk" memilih yang dilakukan oleh tokoh protagonis wanita. Dalam novel Generasi yang Hilang, Genduk Darmirin (tokoh protagonis) diwujudkan sebagai wakil dari sosok masyarakat tradisional berpikiran maju; memberontak terhadap berbagai nilai, sikap, dan pandangan hidup tradisional. 

Di lain pihak, tokoh Suryapraba ditampilkan sebagai wakil sosok masyarakat tradisional, mengagungkan derajat kebangsawanan. Relasi oposisi kedua tokoh tersebut melahirkan beragam konflik, menciptakan berbagai tragedi.

Genduk Darmirin merupakan tokoh kontroversial dengan pengingkarannya terhadap pandangan orang Jawa (pinggiran) yang menganggap dunia priyayi sebagai bentuk puncak apa yang menjadi angan-angan mereka. Seorang perempuan dikatakan beruntung atau berhasil hidupnya  jika mampu bergaul dekat dengan bangsawan (priyayi) dan melahirkan bayi keturunan mereka:: derajat kebangsawanan merupakan jaminan hidup, kekayaan, dan kekuasaan. 

Penolakan terhadap derajat kebangsawanan secara semiotik mengisyaratkan bahwa Genduk Darmirin merupakan sosok wanita Jawa yang kritis terhadap kepincangan-kepincangan sosial, tidak begitu saja tunduk  (nrima) sebagai seorang gadis Jawa yang diikat kuat oleh tradisi. 

Lewat novel ini Suparto Brata menyatakan bahwa dunia kebangsawanan hanya mendewa-dewakan tata cara feodal; sikap dan tata cara yang seharusnya sudah lama dikuburkan. Dengan ketegasan sikap itu, maka jarang sekali (bahkan mungkin tidak ada) karya Suparta Brata lainnya (terutama yang bermediakan bahasa Jawa) mengungkap masalah kepriyayian; apalagi kehendak membela dunia kepriyayian. 

Suparto Brata lebih fasih bercerita mengenai nasib wong cilik: bagaimana Saiman membunuh seorang wanita demi anaknya, Giya, yang kelaparan ("Slendang Bang-Bangan"), kesengsaraan Markam  melayani Pak Tawangalun ("Wong Gedhe"), tragis dramatisnya cinta Dulmawi (tukang arloji Pasar Keputran) kepada Ijah ("Trem"), dan juru ketik yang terpaksa menjadi perampok untuk membahagiakan keluarga ("Rampog"). 

Kepiawaian Suparto Brata menampilkan sosok wong cilik berkorelasi dengan kehidupan keluarga yang cukup menderita: ibunya pernah menjadi pembantu rumah tangga, buruh batik, dan pengasuh anak. Suparto Brata berkumpul dengan ayahnya di Surabaya hanya sekitar enam bulan karena kedua orang tuanya kemudian berpisah, Suparto Brata dibawa ibunya menetap di Solo, sekitar empat tahun, kemudian pindah ke Sragen. 

Banyak kejadian di Sragen yang membekas diingatan Suparto Brata. Menjelang tidur malam, ibunya sering mendongengkan cerita-cerita rakyat "Ande-Ande Lumut", "Jaka Tarub", "Endang Rara Tompe", dan sebagainya. Setelah masuk sekolah dan dapat membaca huruf Jawa, setiap berangkat tidur, ibunya selalu membacakan cerita "Menak" (macapat yang ditembangkan). Ketika duduk di kelas tiga SD, meskipun Suparto Brata belum lancar membaca huruf latin, tetapi ia sering meminjam buku di perpustakaan sekolah, dan orang lain  diminta membacakan---sementara  ia  mendengarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun