Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Perkembangan Teater Indonesia di Yogyakarta (1980--2000)

23 Januari 2023   14:37 Diperbarui: 23 Januari 2023   14:44 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ideologi Teater/Foto: Hermard

Pertumbahan dan perkembangan sastra di Yogyakara menjadi salah satu barometer bagi perkembangan sastra di daerah lain di Indonesia, terlebih perkembangan teaternya (dari Bipbob-nya Rendra sampai monolog Butet Kertarajasa).  

Ada pameo bahwa untuk melihat sastra Indonesia modern secara strategis dapat dilakukan dengan mengamati perkembangan kesusastraan di Yogyakarta. Alasannya karena pertumbuhan kesastraan di Yogyakarta memiliki dinamika yang tidak akan kehabisan sisi menariknya--berbagai peristiwa dapat menjadi "intuisi" dan "imajinasi" bagi  iklim pertumbuhan kesenian, sastra Yogya tidak mengalami  stagnasi; di samping banyaknya penerbitan karya sastra dalam bentuk buku sebagai  kontribusi pengembangan  peta kesusastraan Indonesia  modern. 

Kenyataannya persoalan dunia berkesenian di Yogyakarta sangat penting dibicarakan mengingat tidak seorang  pun dapat menyangkal strategisnya posisi Yogyakarta dalam perkembangan dan pengembangan kesenian  di Indonesia; munculnya sejumlah seniman dengan peran  yang tidak dapat diabaikan, baik dari persoalan demokratisasi    maupun penawaran konsep estetika berkesenian; serta  dominasi kota Yogyakarta  sebagai pusat kegiatan bersastra  di luar Jakarta.

Asumsi itu dapat dipahami dengan produktifnya kota Yogyakarta melahirkan seniman  dalam iklim pergaulan kepengarangan  yang kondusif, kompetitif  dan kental  di  kalangan para peminat seni/sastra.  Nama besar Kuntowijoyo, Mangunwijaya, Umar  Kayam, Rendra, misalnya,   tidak dapat dilepaskan  dari komunitas kehidupan kesenian (kesastraan)  di Yogyakarta.

Salah satu kegelisahan terhadap  kehidupan berkesenian di Yogyakarta  karena referensi mengenai kegiatan kesastraan tidak mudah didapatkan.  Pertanyaan mengenai siapa Azwar AN, Pedro Sudjono---misalnya---bagaimana mereka mengembangkan dan mempertahankan Teater Alam dan Teater Muslim dengan idealisme  masing-masing di tengah timbul tenggelamnya teater di Yogyakarta, tidak mudah ditemukan jawabannya karena dokumen berkaitan dengan persoalan tersebut tidak tersedia dan sulit didapatkan. 

Antologi naskah Pedro Sudjono yang diterbitkan oleh lembaga pemerintah/Foto: Hermard
Antologi naskah Pedro Sudjono yang diterbitkan oleh lembaga pemerintah/Foto: Hermard
Sama halnya jika kita menginginkan membaca naskah-naskah atau dokumentasi pementasan teater di Yogyakarta, umumnya akan menemukan jalan buntu. 

Referensi mengenai Sigit  Sugito  dengan Persatuan Teater Bantul, Landung Simatupang dengan Teater Stemka,  eksistensi Teater Lampu, Teater Alam, Teater Arena, Teater Jeprik, Teater Gandrik, Teater Aksara, dan  lainnya, semua bukanlah sosok  yang  jelas  dan bisa dengan mudah kita temukan arsipnya di perpustakaan umum yang ada di wilayah Yogyakarta.

Kerumpangan bagi upaya "penulisan" sejarah teater/drama  di  Yogyakarta  terjadi karena  tidak adanya kesadaran  lembaga-lembaga kesenian di Yogyakarta mendokumentasikan  naskah  dan kegiatan pementasan sastra.  

Sudah saatnya pemerintah dan  lembaga kesenian tidak lagi sekadar  berfungsi sebagai wadah memunculkan  kreativitas seniman (penyair  dan sastrawan) dalam berkesenian, tetapi   mampu  memberi informasi lengkap mengenai dinamika kehidupan dan perkembangan dunia kesenian.  

Dengan demikian,  (meminjam istilah Linus Suryadi) lembaga formal kesenian tidak  sekadar menjadi tangan panjang yang gamang. Jika pemerhati masalah sosial budaya sastra merasa prihatin dan gusar dengan tidak tersedianya gedung kesenian representatif  di  Yogyakarta; maka para pemerhati  sastra pun  berhak "menggugat" agar lembaga kesenian (termasuk Dewan Kesenian Yogyakarta/Taman Budaya) mempunyai pusat dokumentasi sastra yang mampu memotret perkembangan kehidupan berkesenian/berkesastraan  di Yogyakarta. Pusat dokumentasi sastra Yogyakarta dalam  jangka panjang dapat menjadi pangkalan data mengenai perkembangan dan pengembangan sastra Yogyakarta yang dapat diakses oleh siapa pun.

Teater dan Dinamika Sosial
Tidak dapat dipungkiri bahwa meningkatnya sarana mobilitas fisik memberikan pengaruh penting bagi hubungan kekerabatan antarwarga dan pembentukan kelompok-kelompok kegiatan (kesenian) di kalangan masyarakat Yogyakarta. Dalam kaitan dengan perteateran di Yogyakarta, ketersediaan sarana transportasi (bermotor), dan meningkatnya prasarana jalan, membuka peluang bagi munculnya kelompok teater yang melibatkan berbagai individu dari tempat  tinggal yang saling berjauhan (Simatupang). 

Referensi  perkembangan teater di Yogyakarta/Foto: Hermard
Referensi  perkembangan teater di Yogyakarta/Foto: Hermard
Ini sesuatu yang sulit dibayangkan terjadi pada tahun 1960-an, kecuali untuk segelintir pecinta teater yang mau bersusah-payah mendatangi tempat  relatif jauh demi "rasa cinta" (handarbeni) terhadap kelompok teater. 

Sebagai ilustrasi, antara akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an, Teater Mandiri Yogyakarta memusatkan kegiatan di daerah Semaki, di pinggiran timur kota Yogyakarta. Dalam persiapan pementasan lakon "Lautan Bernyanyi" (Putu Wijaya), sebagian besar pendukungnya  rela melakukan perjalanan ulang-alik ke tempat latihan dengan mengendarai sepeda menempuh jarak sepuluh sampai lima belas kilometer sekali jalan. 

Gambaran itu tidak lazim karena kegiatan tipikal kelompok  teater saat itu adalah  kegiatan teater yang didukung oleh komunitas dalam lokalitas tertentu. Misalnya, kelompok Stemka (berdiri tahun 1969), didukung oleh komunitas pemuda di lingkungan  gereja katholik Kumetiran, wilayah di bagian barat Malioboro; Teater Dipo didukung oleh remaja dari kampung Dipowinatan dan sekitarnya.

Meningkatnya mobilitas fisik dengan membanjirnya kendaraan bermotor roda dua sejak Orde Baru, mampu "membebaskan" kegiatan kelompok teater di Yogyakarta dari ikatan ketat sosial geografis. Teater Gadjah Mada yang termasuk paling tua di Yogyakarta dapat dijadikan ilustrasi dalam konteks pembicaraan ini.

Teater Gadjah Mada didirikan pada tahun 1975, gagasan pembentukan Teater Gadjah Mada datang dari Drs. Soeroso M.A. (rektor UGM pada waktu itu) untuk merayakan Dies Natalis UGM dengan pementasan lakon "Prabu dan Putri" karya Rustandi Kartakusuma di Gedung "Batik PPBI" Jalan Yudonegaran, Yogyakarta, tahun 1973. Penyutradaraan dipegang oleh Mochtar Probottingi (mahasiswa Jurusan Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan). Pendukung produksi pementasan, antara lain Syafri Sairin, Imran T. Abdullah, Rafan Yusuf, Syamsul Arifin, Roestamadji Broto, Tamdaru Tjokrowerdojo, Sigit Dwianto, Sayuti Abdullah, Sayekti, Agustin Nurhayati, Suharyoso Sk. dan Landung Simatupang.

Perintis berdirinya kelompok teater yang dua kali memenangkan festival teater mahasiswa nasional ini adalah Suharyoso Sk (mahasiswa Geografi) dengan dibantu Suprapto Budi Santoso (mahasiswa Teknik Sipil), Yuwono (mahasiswa Psikologi), dan Landung Simatupang (mahasiswa Sastra). Tiga nama yang disebut awal adalah mahasiswa pemondok. Suharyoso Sk datang dari Kediri  (Jawa Timur), menyewa rumah sederhana di kampung Terban bersama adik-adiknya. Suprapto Budi Santoso berasal dari Madiun (Jawa Timur) dan mondok (nderek) satu keluarga (rekan sejawat ayahnya) yang tinggal di perumahan karyawan PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api) di Bumijo. Sedangkan Yuwono, dari Solo, nderek pada keluarga salah seorang kerabat orang tuanya di kampung Sosrokusuman. Dalam kegiatan keseharian, relasi sosial mereka dengan masyarakat setempat sangat renggang dibandingkan dengan para pelajar dan mahasiswa yang nderek di rumahtangga keluarga-keluarga di Yogyakarta tahun 1950---1960-an.

Perkembangan lain terjadi pada tahun 1980-an ketika pertumbuhan ibukota kabupaten semakin pesat berbenah menjadi "kota" dengan segala fasilitas di berbagai sektor, termasuk kesenian. 

Institusi pendidikan tinggi dan pendidikan menengah mulai merambah lokasi di luar kotamadya. Teater yang semula seperti terkungkung di kota, meluber dan merambah ke desa-desa kabupaten  (berupaya menjelma menjadi kota). Di kabupaten Sleman, muncul kelompok Teater Majenun,   mementaskan lakon "Ben Go Tun" (Saini KM) di gedung kesenian Serba Guna kompleks perkantoran Kabupaten Sleman pada tahun 1980-an. Teater  Majenun (dipimpin  Hedi Santoso, penduduk Murangan, Sleman) sempat pentas di gedung Purna Budaya Yogyakarta membawakan lakon "Nabi Kembar" (Mroszek). Teater ini tidak terdengar lagi sejak awal 1990-an.  

Di sisi lain, Paguyuban Teater Bantul dengan tokoh Sigit Sugito terus berkembang dan kian menampakkan sosoknya. Komunitas ini banyak memanfaatkan keberadaan gedung kesenian Gabusan, Bantul. Di Bantul bilangan timur, muncul Teater Lampu, pementasannya selalu diberitakan  koran Kedaulatan Rakyat.

Kedudukan ibukota kabupaten sebagai pusat-pusat kegiatan sastra juga diakui dan dikukuhkan oleh lembaga  semi-pemerintah seperti Panitia Festival Kesenian Yogyakarta yang menyelenggarakan pesta seni tahunan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika pada awal penyelenggaraan festival kegiatan pementasan dilakukan hanya di kota Yogyakarta, pada waktu berikutnya festival dilangsungkan pula di ibukota-ibukota kabupaten di DIY.

Apa pun persepsi orang tentang "aroma Yogyakarta"  dalam kebhinekaan teater kontemporer Indonesia, yang pasti adalah bahwa kenyataan itu terbentuk melalui proses yang berlangsung cukup lama.

Sistem Pengarang
Penulis/pengarang merupakan komponen  sangat penting dalam penciptaan karya sastra (naskah drama) karena tanpa kehadiran penulis, tidak mungkin  lahir naskah drama. Penulis/pengarang merupakan sumber pesan dalam karya sastra.
Dalam konteks pembicaraan sistem penulis/pengarang, maka drama Indonesia di Yogyakarta yang dimaksudkan adalah naskah drama yang lahir (terbit) di Yogyakarta atau ditulis oleh sastrawan yang berdomisili di Yogyakarta dan sastrawan yang secara  kultural dalam proses kreatifnya tidak dapat dilepaskan dari Yogyakarta.

Pembicaraan tentang Sri Murtono/Foto: Hermard
Pembicaraan tentang Sri Murtono/Foto: Hermard
Kelompok teater di Yogyakarta memiliki cara dan "tradisi" sendiri dalam penulisan naskah untuk pementasan. Ada kelompok teater yang memiliki penulis naskah, di samping ada pula kelompok teater yang tidak mempunyai penulis, sehingga naskah yang dipentaskan merupakan naskah hasil adaptasi, terjemahan, atau bahkan naskah yang berasal dari penulis kelompok teater lain.

Setiap penulis naskah dalam suatu grup atau kelompok teater di Yogyakarta  memiliki beragam sistem penulisan naskah. 

Naskah "Patung Kekasih" yang dipentaskan Teater Dinasti, misalnya,  ide awal naskah   merupakan "ngengrengan" dari Simon HT, kemudian dilatihkan dengan sistem dramatic reading (dibaca bersama anggota grup) untuk mengetahui kekurangan dan kelebihannya. Setelah tahap ini selesai, tugas selanjutnya merupakan penyempurna "isi, misi, dan visi", dikerjakan oleh Cak Nun.  Ide cerita bisa datang dari anggota Teater Dinasti. Naskah "Sepatu Nomor Satu", ide cerita berasal dari Agus Istiyanto, kemudian dikembangkan dan disempurnakan   Simon  HT serta Joko Kamto.

Puntung CM Pujadi, penulis sekaligus sutradara teater Shima, dalam penulisan naskah menggunakan sistem trail and error. Artinya, naskah ditulis tidak langsung jadi utuh (sempurna) sebagai naskah, tetapi melalui adegan per adegan, dipakai sebagai bahan latihan pemeranan para anggota. Adegan yang dibuat tidak berurutan.  Setelah lengkap baru disusun menjadi naskah utuh, siap dipentaskan.
Cara tersebut dilakukan ketika menulis naskah "Godres" dan "Sekrup". Teknik lain yang dipakai Puntung  dilakukan dengan perenungan terhadap fenomena di sekitar kehidupan. 

Berbeda dengan Simon HT dan Puntung, Noor WA melakukan penulisan naskah  tanpa bantuan orang lain. Naskah ditulis sendiri tanpa melalui dramatic reading. Naskah dihasilkan melalui pengamatan (observasi), baik melalui studi literatur maupun  mengamati fenomena secara langsung. Naskah "Sendrek" atau "Megatruh" merupakan hasil pengamatan  fenomena pada tahun 1980-an saat terjadi penembakan para gali oleh "Petrus" (penembak misterius)---kegiatan pemberantasan penjahat ini dikenal sebagai OPK (Operasi Pemberantasan Kejahatan). 

Naskah lain karya Noor WA adalah "Ledhek", lahir dari rasa keprihatinannya terhadap kehidupan seorang penari ledhek  yang tidak laku  mengamen karena sudah tua dan tidak memiliki daya pikat lagi sebagai ledhek. Kejadian tersebut "direkam" menjadi naskah lakon, kemudian dipentaskan dengan gaya sampakan.

Penulis  dari Teater Gandrik, Heru Kesawamurti, selalu membiarkan  ide yang muncul mengembara secara "liar" dalam pikirannya. Setelah mengendap beberapa saat, baru ditulis menjadi naskah drama yang bisa dibaca para calon pemain dan sutradara untuk kemudian didiskusikan, masuk ke tahap "bedah naskah" (sharing). Pada tahap ini terjadi pengurangan dan penambahan gagasan karena munculnya ide-ide baru sebagai penyempurna naskah. Kemudian diketik ulang menjadi karya panggung. 

Artinya, naskah pertama yang disebut sebagai "karya sastra"  hanya merupakan sebuah cerita (frame) berisi tempat, peristiwa, dan waktu. Sedang naskah kedua (naskah panggung) sudah dilengkapi dengan pemaparan mengenai pemanggungan, seperti letak atau susunan sett dan property. Keuntungan proses kerja ini adalah apabila terjadi "penyelewengan" pada naskah kedua (naskah panggung), masih dapat diluruskan kembali dengan mengacu pada naskah pertama sebagai "babon" cerita.

Alih media cerpen  ke naskah lakon/Foto: Hermard
Alih media cerpen  ke naskah lakon/Foto: Hermard
Sistem Penerbit dan Penerbitan
Penerbit memegang peranan penting dalam menyebarluaskan karya sastra agar dapat dipentaskan dan dikritisi oleh masyarakat luas.  
Naskah drama disebarluaskan agar  ide pengarang dapat diketahui  oleh  masyarakat (tidak hanya terbatas pada pemain/ penonton pertunjukkan). Ide  pengarang yang dituangkan  dalam  naskah drama  akan  menimbulkan  berbagai   kemungkinan tanggapan  masyarakat. Kemungkinan pertama,  masyarakat  merasa senang, sejalan dengan pikiran penulis, sehingga  hasil penerbitan  itu mendapat respon positif.   Kemungkinan  kedua, masyarakat kurang atau tidak  tertarik pada ide penulis sehingga mereka enggan memberikan apresiasi.  Kenyataan tersebut merupakan hal  wajar dalam dunia penerbitan, karena menerbitkan sebuah naskah drama  pada hakikatnya  adalah upaya menjajakan ide.

Dapat ditarik   simpulan bahwa dunia penerbitan harus menerapkan   sistem yang utuh.  Sistem pengelolaannya benar-benar profesional agar penerbitan tersebut tidak sekadar  dapat menerbitkan naskah drama tetapi  tidak menjamin kelangsungan hidupnya. Kemungkinan terburuk,  penerbit  "gulung tikar" jika menerbitkan naskah drama, membuat  eksistensi naskah drama terpinggirkan dari dunia penerbitan.

Sistem Pementasan
Dari tahun  1980 hingga tahun 2000, sistem pementasan grup-grup tater di Yogyakarta tidak mengalami perubahan  berarti, baik dari pengelolaan manajemen produksi pentas maupun manajemen penataan artistik panggung. Biasanya grup teater di Yogyakarta ketika bermaksud akan memproduksi suatu karya, terlebih dahulu menunjuk staf produksi.  Kemudian staf produksi  membagi tugas produksi dalam  dua  tim, yaitu tim produksi dan tim artistik.

Pada umumnya kelompok teater di Yogyakarta, baik secara amatir maupun  professional, memiliki staf produksi yang dibentuk ketika suatu grup akan memproduksi sebuah pementasan.
Staf produksi bertugas merancang  proses  latihan sampai terlaksananya pementasan di gedung pertunjukan.

Setelah memilih gedung sebagai tempat pertunjukan, maka tim produksi mencari donatur sebagai sponsor pementasan. Biasanya modal awal kegiatan pementasan diambil dari kas kelompok teater. Untuk mengembalikan modal, pertunjukan diupayakan menghasilkan pemasukan (uang) dengan cara menjual tiket tanda masuk.

Pihak produksi pertunjukan membutuhkan kehadiran penonton dengan asumsi semakin banyak penonton, maka  semakin banyak pula pemasukan dari penjualan tiket tanda masuk. 

Hanya saja  yang  sebenarnya terjadi tidaklah demikian. Sebab dari seluruh penonton yang hadir, hampir bisa dipastikan dua puluh lima sampai empat puluh persen penonton masuk tanpa tiket. Hal ini terjadi karena teater belum menjadi tontonan populer seperti sepak bola atau musik ndangdut. 

Untuk menghadirkan penonton, pihak produksi rela menggratiskan sejumlah tiket tanda masuk kepada orang-orang tertentu yang dianggap dapat memancing penonton lain  menghadiri pertunjukan teater  dengan membeli tiket. Untuk itu, dalam sebuah produksi pementasan teater diperlukan seorang pimpro yang ulet agar terhindar dari kerugian dengan menggaet pihak sponsor atau donatur yang mau mengambil peran sebagai pengayom atau penyandang dana. 

Di samping itu, agar dapat menghadirkan penonton semaksimal mungkin, pihak produksi melakukan publikasi pementasan melalui media cetak dan elektronik. Usaha lain yang dilakukan adalah dengan menghadirkan "bintang tamu" yang dianggap  mampu menyedot penonton karena kepopuleran bintang tamu tersebut.

Ideologi Teater/Foto: Hermard
Ideologi Teater/Foto: Hermard
Selain sistem rekruitmen penonton seperti yang telah digambarkan di atas, cara lain yang dipakai tim produksi adalah dengan pembinaan penonton, seperti yang dilakukan Himpunsn Teater Yogyakarta (HTY) pada sekitar tahun 1985 dengan mengadakan "arisan teater", dipelopori oleh Teater Alam pimpinan Azwar AN. Arisan ini dilaksanakan dengan mengadakan pentas keliling dari kampung ke kampung secara bergiliran. Tujuannya  untuk merangsang anggota HTY aktif berkarya dan memperkenalkan seni teater kepada masyarkat umum (mencari penonton).

Di samping tim produksi ada tim artistik. Fungsi dari tim ini dalam kelompok teater yang akan memproduksi sebuah pementasan lakon memiliki tugas mendukung  pementasan dalam bentuk konkret di atas panggung, memperhatikan elemen-elemen pentas. Hal yang dikerjakan adalah merencanakan bentuk set atau dekorasi panggung, property dan hand proerty, merencanakan busana atau pakaian yang akan dikenakan para pemeran, merencanakan bentuk rias, dan mengatur penataan lampu (lighting). Musik illustrasi pementasan lakon biasanya diserahkan kepada seorang penata musik di luar artistik panggung.

Rujukan: Widyaparwa 2011 dan Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun