Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Perkembangan Teater Indonesia di Yogyakarta (1980--2000)

23 Januari 2023   14:37 Diperbarui: 23 Januari 2023   14:44 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kumpulan naskah Teater Gandrik/Foto: Hermard

Puntung CM Pujadi, penulis sekaligus sutradara teater Shima, dalam penulisan naskah menggunakan sistem trail and error. Artinya, naskah ditulis tidak langsung jadi utuh (sempurna) sebagai naskah, tetapi melalui adegan per adegan, dipakai sebagai bahan latihan pemeranan para anggota. Adegan yang dibuat tidak berurutan.  Setelah lengkap baru disusun menjadi naskah utuh, siap dipentaskan.
Cara tersebut dilakukan ketika menulis naskah "Godres" dan "Sekrup". Teknik lain yang dipakai Puntung  dilakukan dengan perenungan terhadap fenomena di sekitar kehidupan. 

Berbeda dengan Simon HT dan Puntung, Noor WA melakukan penulisan naskah  tanpa bantuan orang lain. Naskah ditulis sendiri tanpa melalui dramatic reading. Naskah dihasilkan melalui pengamatan (observasi), baik melalui studi literatur maupun  mengamati fenomena secara langsung. Naskah "Sendrek" atau "Megatruh" merupakan hasil pengamatan  fenomena pada tahun 1980-an saat terjadi penembakan para gali oleh "Petrus" (penembak misterius)---kegiatan pemberantasan penjahat ini dikenal sebagai OPK (Operasi Pemberantasan Kejahatan). 

Naskah lain karya Noor WA adalah "Ledhek", lahir dari rasa keprihatinannya terhadap kehidupan seorang penari ledhek  yang tidak laku  mengamen karena sudah tua dan tidak memiliki daya pikat lagi sebagai ledhek. Kejadian tersebut "direkam" menjadi naskah lakon, kemudian dipentaskan dengan gaya sampakan.

Penulis  dari Teater Gandrik, Heru Kesawamurti, selalu membiarkan  ide yang muncul mengembara secara "liar" dalam pikirannya. Setelah mengendap beberapa saat, baru ditulis menjadi naskah drama yang bisa dibaca para calon pemain dan sutradara untuk kemudian didiskusikan, masuk ke tahap "bedah naskah" (sharing). Pada tahap ini terjadi pengurangan dan penambahan gagasan karena munculnya ide-ide baru sebagai penyempurna naskah. Kemudian diketik ulang menjadi karya panggung. 

Artinya, naskah pertama yang disebut sebagai "karya sastra"  hanya merupakan sebuah cerita (frame) berisi tempat, peristiwa, dan waktu. Sedang naskah kedua (naskah panggung) sudah dilengkapi dengan pemaparan mengenai pemanggungan, seperti letak atau susunan sett dan property. Keuntungan proses kerja ini adalah apabila terjadi "penyelewengan" pada naskah kedua (naskah panggung), masih dapat diluruskan kembali dengan mengacu pada naskah pertama sebagai "babon" cerita.

Alih media cerpen  ke naskah lakon/Foto: Hermard
Alih media cerpen  ke naskah lakon/Foto: Hermard
Sistem Penerbit dan Penerbitan
Penerbit memegang peranan penting dalam menyebarluaskan karya sastra agar dapat dipentaskan dan dikritisi oleh masyarakat luas.  
Naskah drama disebarluaskan agar  ide pengarang dapat diketahui  oleh  masyarakat (tidak hanya terbatas pada pemain/ penonton pertunjukkan). Ide  pengarang yang dituangkan  dalam  naskah drama  akan  menimbulkan  berbagai   kemungkinan tanggapan  masyarakat. Kemungkinan pertama,  masyarakat  merasa senang, sejalan dengan pikiran penulis, sehingga  hasil penerbitan  itu mendapat respon positif.   Kemungkinan  kedua, masyarakat kurang atau tidak  tertarik pada ide penulis sehingga mereka enggan memberikan apresiasi.  Kenyataan tersebut merupakan hal  wajar dalam dunia penerbitan, karena menerbitkan sebuah naskah drama  pada hakikatnya  adalah upaya menjajakan ide.

Dapat ditarik   simpulan bahwa dunia penerbitan harus menerapkan   sistem yang utuh.  Sistem pengelolaannya benar-benar profesional agar penerbitan tersebut tidak sekadar  dapat menerbitkan naskah drama tetapi  tidak menjamin kelangsungan hidupnya. Kemungkinan terburuk,  penerbit  "gulung tikar" jika menerbitkan naskah drama, membuat  eksistensi naskah drama terpinggirkan dari dunia penerbitan.

Sistem Pementasan
Dari tahun  1980 hingga tahun 2000, sistem pementasan grup-grup tater di Yogyakarta tidak mengalami perubahan  berarti, baik dari pengelolaan manajemen produksi pentas maupun manajemen penataan artistik panggung. Biasanya grup teater di Yogyakarta ketika bermaksud akan memproduksi suatu karya, terlebih dahulu menunjuk staf produksi.  Kemudian staf produksi  membagi tugas produksi dalam  dua  tim, yaitu tim produksi dan tim artistik.

Pada umumnya kelompok teater di Yogyakarta, baik secara amatir maupun  professional, memiliki staf produksi yang dibentuk ketika suatu grup akan memproduksi sebuah pementasan.
Staf produksi bertugas merancang  proses  latihan sampai terlaksananya pementasan di gedung pertunjukan.

Setelah memilih gedung sebagai tempat pertunjukan, maka tim produksi mencari donatur sebagai sponsor pementasan. Biasanya modal awal kegiatan pementasan diambil dari kas kelompok teater. Untuk mengembalikan modal, pertunjukan diupayakan menghasilkan pemasukan (uang) dengan cara menjual tiket tanda masuk.

Pihak produksi pertunjukan membutuhkan kehadiran penonton dengan asumsi semakin banyak penonton, maka  semakin banyak pula pemasukan dari penjualan tiket tanda masuk. 

Hanya saja  yang  sebenarnya terjadi tidaklah demikian. Sebab dari seluruh penonton yang hadir, hampir bisa dipastikan dua puluh lima sampai empat puluh persen penonton masuk tanpa tiket. Hal ini terjadi karena teater belum menjadi tontonan populer seperti sepak bola atau musik ndangdut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun