Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik Sastra Jawa Modern: Dunia Malu-malu Kucing

20 Januari 2023   15:21 Diperbarui: 20 Januari 2023   22:28 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antologi Pratisara/Foto: Hermard

Jauh sebelumnya, pada tahun  1977,  N. Sakdani Darmopamudjo menceritakan pengalamannya selama delapan tahun sebagai redaktur media berbahasa Jawa bahwa kenyataan menunjukkan sangat kurangnya penulisan kritik terhadap karya sastra Jawa modern--cerita bersambung yang selalu disajikan dalam Panjebar Semangat dan Jaya Baya biasanya berlalu begitu saja, berganti dengan cerita bersambung lainnya tanpa adanya ulasan atau kritik. 

Kehadiran ratusan cerkak (cerita pendek) dan geguritan (puisi) dalam majalah berbahasa Jawa, meskipun menampilkan eksperimen-eksperimen baru, tidak pernah mendapatkan tanggapan; situasi ini membuktikan bahwa dunia sastra Jawa modern memang miskin kritikus. 

Pengalaman buruk N. Sakdani diperkuat oleh penelitian Tirto Suwondo yang dipublikasikan lewat buku Sastra Jawa dan Sistem Komunikasi Modern (2011), dipaparkan bahwa salah satu faktor penyebab sastra Jawa modern mengalami nasib buruk  karena lemahnya sistem dan atau dinamika kritik.

Di satu sisi karya-karya sastra Jawa modern seperti novel, cerita bersambung, cerkak, dan  geguritan  terus-menerus ditulis dan dipublikasikan (baik dalam bentuk buku maupun lewat majalah), tetapi di sisi lain, karya-karya tersebut tidak disambut hangat oleh pembaca. Indikasi ketidakhangatan sambutan pembaca itu antara lain tampak pada sedikitnya publikasi karya-karya kritik, baik berupa kritik ilmiah maupun berupa ulasan/tinjauan dalam bentuk artikel populer yang dimuat media massa cetak (koran/majalah).  

Dalam penelitian mengenai novel Jawa tahun 1950-an, Sapardi Djoko Damono dengan tegas menyatakan bahwa pada periode tahun 1950-an sistem kritikus dalam sastra Jawa tidak berkembang, buktinya meskipun telah diterbitkan puluhan novel dan ratusan cerita pendek, baik sebagai buku   maupun dalam majalah-majalah, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa dianggap sebagai kritikus profesional.

Lebih jauh Tirto Suwondo, Sri Widati, dan Dhanu Priyo Prabowo dalam penelitian mengenai Kritik Sastra Jawa Periode 1981---1997 yang dilakukan pada tahun 2000 menyatakan dalam kurun waktu cukup panjang sistem kritik  sastra Jawa modern hanya jalan di tempat, tidak mengalami kemajuan atau tanpa dinamika yang berarti. 

Ketimpangan dan jurang pemisah antara jumlah kelahiran karya sastra  dan karya kritik yang ditulis masih tetap lebar; setidak-tidaknya kondisi itu berlangsung terus hingga tahun 1970-an.

Riak-riak Kehidupan Kritik Sastra Jawa Modern

Paparan di atas menggambarkan bahwa kehidupan kritik sastra Jawa modern tidak berkembang sesuai dengan harapan para pemerhati sastra. Kondisi ini disebabkan karena (1) tidak adanya kritikus sastra yang profesional--kecuali Suripan Sadi Hutomo--dalam dunia sastra Jawa modern, (2) adanya keengganan melakukan kritik karena dominannya budaya ewuh pekewuh (tidak enak hati) dalam kehidupan masyarakat Jawa, di samping melekatnya ungkapan wong Jawa nggone semu (orang Jawa pandai berpura-pura). Memang diakui bahwa sistem kritik dalam kesusastraan Jawa lemah.

Kelemahan ini dapat dilihat dari kurangnya media ekspresi kritikus sastra Jawa dan terbatasnya produktivitas kritikus sastra Jawa. Meskipun begitu, bukan berarti kehidupan kritik sastra Jawa modern mlempem atau mati suri karena sejak tahun 1930 sampai hari ini beragam kritik menyangkut karya-karya sastra Jawa terus hadir, baik dalam majalah/koran dan lewat buku terbitan berbahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. 

Buku antologi esai sastra Jawa yang cukup menarik adalah Gagaran Lampah: Antologi Esai Sastra Jawa karena memuat esai berbahasa Jawa maupun berbahasa Indonesia, diterbitkan pada tahun 2016 atas kerja sama Studio Pertunjukan Sastra (komunitas sastra Indonesia), Mbelinger Store (bergerak dalam penjualan kaos oblong dengan label "Bijak Jawa"), dan penerbit Garudhawaca, memuat tulisan dari para pemerhati sastra Jawa maupun sastra Indonesia dengan objek pembicaraan seputar masalah yang dihinggapi dan dihadapi sastra Jawa.

Perkembangan riak-riak kehidupan kritik sastra Jawa modern dapat dicermati--meskipun  tidak selalu berkenaan dengan kritik ilmiah--kritik sastra yang ada belum menunjukkan fungsi signifikan bagi kehidupan dan perkembangan sastra Jawa modern secara menyeluruh.  Karya-karya kritik tersebut lebih bersifat umum, ditulis oleh masyarakat umum--walaupun  di antara mereka ada yang  berasal  dari  kalangan akademik--dan   dipublikasikan  lewat  media massa umum (koran dan majalah) maupun buku terbitan dalam bentuk esai populer atau artikel. 

Kritik sastra Jawa mulai muncul pada  tahun 1938 dalam majalah Kedjawen melalui rubrik "Obrolanipun Petruk Kaliyan Gareng". Majalah Kedjawen  terbit pertama kali pada tahun 1926 oleh Balai Pustaka, ditampilkan dengan menggunakan huruf (aksara) Jawa, disampaikan dalam bahasa Jawa krama. Sejak tahun 1937 menggunakan huruf Latin  untuk menyampaikan informasi luar negeri, iklan, dan karya sastra/fiksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun