Pengarang merupakan komponen  penting dalam penciptaan karya sastra. Tanpa kehadiran pengarang (sastrawan), tidak mungkin  lahir karya sastra. Sapardi Djoko Damono (1999) melontarkan gagasan bahwa pendekatan  sastra dapat memusatkan perhatian pada pengarang.  Beberapa jenis pendekatan  (historis, sosiologis, maupun psikologis) menekankan  pentingnya pengarang. Pengarang sebagai individu dan kelompok  dapat dipelajari asal-usul, pendidikan, ideologi, dan agamanya. Â
Dari sejumlah penerbitan yang memuat karya sastra berbentuk cerita pendek, dapat diindentifikasi keadaan pengarang cerpen di Yogyakarta. Pertama,  pengarang yang kurang atau tidak produktif dan karya-karya mereka hanya dimuat dalam media massa  di Yogyakarta. Kedua, pengarang produktif, jumlah karya mereka lebih dari satu, dan  karya mereka tidak hanya dimuat  media massa yang terbit di Yogyakarta.Â
Pengarang kelompok pertama, antara lain A.K. Hadi, Agus Sujudi, Yuddha, Subekti, Klana Djarwa,  Djon,  Marusman,  Sri Hutomo Kusumo, dan M. Sunjoto. Barisan pengarang  kelompok kedua, antara lain Mutijar, Srimaya, Sudjoko Pr., S. Rasdan, Pong Waluya, Herman Pratikto, W.S. Rendra,  Iman Soetrisno, Alwan Tafsiri, Rustandi Kartakusuma, Djamil Suherman, A. Bastari Asnin, Nasjah Djamin, SN Ratmana, Hardjana HP, St. Iesmaniasita, Sju'bah Asa, Hadjid Hamzah, Susilomurti, Jussac MR, dan Th. Sri Rahayu Prihatmi.Â
Pengarang tersebut di samping memiliki beberapa cerpen, karya mereka pun dimuat di dalam media massa  terbit di luar Yogya. Cerpen  "Nyidam" (Hardjana HP) dimuat dalam majalah Tanah Air, (Jakarta), "Di Kereta Ia Saya Temui" (Kirdjomulyo) dimuat  Tanah Air, (Jakarta, 1961), "Pengantar Surat" (Motinggo Boesje) dimuat  majalah Sastra (Jakarta, 1961), "Nenenda" (A. Bastari Asnin) dimuat  majalah Sastra (Jakarta, 1961),  "Wasja, Ah, Wasja" (WS Rendra) dimuat  majalah Kisah, (Jakarta, 1961), dan "Aku Protes" (B. Soelarto) dimuat majalah Cerpen,  (Jakarta, 1966).
Beberapa penulis cerpen di atas  memiliki kegiatan penunjang yang mendukung kegiatan bersastra. Mereka tidak hanya sekadar bisa menulis cerpen, akan tetapi  mampu menulis esai sastra dan  menerjemahkan. S. Rasdan menerjemahkan cerpen "The Last Leaf" karya O Henry menjadi "Kisah Selembar Daun"  dimuat  majalah Seriosa (1954). Pengarang lain, Supomo, S.H.  menulis cerpen "Jaminan" (Gadjah Mada, 1954), merupakan  terjemahan cerpen karya W.B. Maxwell.  Sementara itu penulis Djon di samping menulis cerpen mampu menulis naskah drama radio "Di Simpang Jalan" (Medan Sastra, No. 4, Juli 1953).
Dari segi kualitas, beberapa  cerpenis Yogyakarta menunjukkan kelebihan sebagai sosok pengarang yang layak diperhitungkan. Beberapa dari mereka mendapatkan hadiah sastra dari majalah Sastra (Jakarta) pimpinan H.B. Jassin.  Majalah Sastra merupakan majalah bulanan, memberikan andil bagi perkembangan cerita pendek Indonesia.
Pada tahun 1961 redaksi majalah Sastra memberikan "Hadiah Sastra 1961" kepada enam orang cerpenis Indonesia, antara lain: A. Bastari Asnin, B. Soelarto. Di samping dua pengarang di atas, Satyagraha Hoerip memperoleh hadiah hiburan.
Hal lain yang menarik dari sisi kepengarangan adalah adanya kebiasaan beberapa  pengarang yang menulis cerpen ditujukan kepada orang-orang tertentu  dengan maksud tertentu. Perhatikan cerpen "Doktoranda Fatimah" [Buat Yu Sri di Surabaya] karya Hardjana HP (Minggu Pagi, 1963),  "Pawai Awan" [Souvenir untuk Kartini] karya  Marusman (Media,  1955), karya Satyagraha Hoerip (Minggu Pagi, 1955), "Pada Satu Sore" [buat dik Artiningsih, karena siapa cerita ini lahir].
Pencantuman keterangan kepada siapa cerpen itu ditujukan tentu saja mempunyai tujuan tertentu,
agar pembaca yang dituju memberi perhatian khusus terhadap cerpen tersebut, menciptakan suasana agar cerpen tersebut terasa dramatis, dan upaya mengungkapkan perasaan tertentu penulisnya.
*Herry Mardianto
Rujukan: Widyaparwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H