Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Komunitas Semak Kata: Rumah Bagi Penulis Pemula

2 Januari 2023   18:36 Diperbarui: 2 Januari 2023   19:07 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Yogyakarta, jumlah komunitas begitu berjibun. Hal ini tidak mengherankan karena Yogyakarta merupakan semacam pelabuhan bagi siapa pun yang ingin singgah ngangsu kaweruh  mengenai apa saja: sastra, sejarah, pendidikan, klenik, pawukon, sengkalan, situs purbakala, tari, lukis atau bahkan sesuatu tidak terjangkau dalam pikiran kita.

Belakangan ini komunitas yang sempat mencuri perhatian adalah Resan Gunungkidul, komunitas ini sempat menelan pil pahit karena dianggap sebagai komunitas penyembah pohon, bahkan penyembah setan.  Padahal Resan (dengan inisiator Edi Padmo) berbasis pada gerakan menanam pohon, konservasi alam--alam merupakan ibu kehidupan. Konsentrasi komunitas Resan terkait dengan  budaya menjaga dan menghormati pohon, menjaga sumber mata air.

Merawat Pohon/Foto: dok @resangunungkidul
Merawat Pohon/Foto: dok @resangunungkidul

Komunitas cukup legendaris dalam mengembangkan sastra dan kebudayaan dalam pengertian luas di Yogyakarta  adalah Sanggar Bambu dan  Persada Studi  Klub.

Sanggar Bambu didirikan 1 April 1959  oleh Soenarto PR bersama Kridjomulyo, Heru Sutopo, Mulyadi W dan Danarto. Pilihan kegiatannya meliputi seni rupa, teater, musik dan puisi; baik pameran, pementasan, maupun diskusi. Tahun 1980-an diskusi sastra dilaksanakan secara intens di markas Sanggar Bambu di bilangan Pasar Ngasem.

Beberapa seniman kondang seperti Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, Untung Basuki, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Linus Suryadi AG, Kusno Sujarwadi, Mien Brodjo, Adi Kurdi, Motinggo Boesje dan Soesilomurti tidak bisa dilepaskan dari peran Sanggar Bambu.

Persada Studi Klub (PSK)  diperkirakan lahir pada  5 Maret 1969 dengan inisiator Umbu Landu Paranggi. Komunitas ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan mingguan Pelopor Yogya yang bermarkas di Jalan Malioboro 175 A. 

Seniman dan sastrawan yang "menggelandang" di Malioboro akhirnya mempunyai tempat ngobrol di kantor redaksi lantai dua. 

Selain Umbu, sastrawan lain yang berperan dalam pendirian PSK adalah Teguh Ranusastra, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono, dan M. Ipan Sugiyanto. 

Foto: dok. Asep SA (Pelopor Yogya, 10/1/1971)
Foto: dok. Asep SA (Pelopor Yogya, 10/1/1971)
Kiprah Umbu dalam pengembangan dan perkembangan sastra di Yogyakarta begitu besar, sehingga Iman Budhi Santosa dkk. dalam mengantarkan buku Mentiyem : Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi  menuliskan:  dengan semangat pengabdian tinggi dan tanpa pamrih, Umbu menumbuhkan benih-benih kreator sastra, seni budaya dan kemanusiaan di Yogyakarta dan Bali.

Foto: Hermard
Foto: Hermard
Lepas dari komunitas  legendaris di atas, upaya melahirkan penulis dan sastrawan terus dirawat, salah satunya dengan hadirnya komunitas Semak Kata (Sekat). Komunitas ini beranggotakan dua ratus orang lebih penulis pemula dari kegiatan Pelatihan Menulis dan Fasilitasi Penerbitan Buku yang diselenggarakan oleh Balai Layanan Perpustakaan, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.

Komunitas Sekat  dalam acara Peluncuran Buku terbitan DPAD/Foto: dok Balaiyanpus
Komunitas Sekat  dalam acara Peluncuran Buku terbitan DPAD/Foto: dok Balaiyanpus

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata semak merupakan bentuk tidak baku dari kata simak, bermakna memperhatikan/mendengarkan.

Meskipun masih berusia muda belia, dibentuk pada tanggal 9 Oktober 2022, tetapi kegiatan internal yang dilakukan terus membekali penulis muda  berkiprah dalam dunia kepenulisan. Misalnya saja diskusi menulis featur, bedah artikel, bedah featur, menulis cerita pendek. Kegiatan tersebut dikaitkan dengan serangkaian lomba menulis artikel, featur, dan cerita pendek.

Salah satu acara Semak Kata/Foto: dok. Sekat
Salah satu acara Semak Kata/Foto: dok. Sekat
Dengan bimbingan Eko Triono (cerpenis), Latief Noor Rochmans (praktisi media), M. Saleh (penulis), dan Ahmad Zamzuri (peneliti sastra/BRIN), anggota komunitas Sekat terus termotivasi untuk menulis. Dampaknya cerpen mereka sudah beberapa kali dimuat media lokal, salah satunya Kedaulatan Rakyat.

Semak adalah tumbuhan kecil dengan batang berkayu. Seemak bearti seibu, bersaudara. Jadi, Semak Kata merupakan upaya memperhatikan kata (menulis) dalam persaudaraan dengan kreativitas yang tumbuh liar seperti semak.

Anggota Sekat terlibat dalam kegiatan pengembangan potensi diri dalam kepenulisan. Salah satu kegiatan yang diikuti adalah Sekolah Sastra: Temua Maestro (Penciptaan Cerita Pendek) yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 16-17 Desember 2022.

Beberapa anggota Sekat di Sekolah Sastra/Foto: Hermard
Beberapa anggota Sekat di Sekolah Sastra/Foto: Hermard
Linda Sari Lubis, mahasiswi jurusan manajemen Universitas Widya Mataram Yogyakarta, merasa senang dan tertantang terlibat dalam komunitas Semak Kata, "Saya akan terus berupaya menjadi penulis yang baik, bisa menulis cerpen dengan bimbingan para mentor," jelasnya saat bertemu di Sekolah Sastra.

*Herry Mardianto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun