Tanpa adanya campur tangan pengayom, dapat dipastikan  kehidupan sastra akan mengalami stagnasi atau setidaknya sastra hanya akan jalan di tempat.
Tanaka dalam buku Systems Model for Literary Macro Theory, menyatakan pada hakikatnya karya sastra merupakan  sistem yang eksistensinya terkait erat  dengan sistem-sistem lingkungan pendukungnya: pengarang, penerbit, kritik, dan pembaca.  Catatan ini menjadi penting untuk mengetahui  perkembangan cerita pendek Indonesia di Yogyakarta (tahun 1950---1990-an) ditinjau dari peran pengayom (lembaga/instansi pemerintah, swasta, dan penerbit).
Cerita pendek Indonesia di Yogyakarta  merupakan karya sastra dalam bentuk cerita pendek yang lahir  di Yogyakarta, ditulis oleh sastrawan yang secara kultural proses kreatifnya tidak dapat dilepaskan dari Yogyakarta.
Sudah sejak lama kegiatan sastra di Yogyakarta tumbuh dan berkembang dengan baik karena didukung oleh kehadiran berbagai komunitas sastra, perguruan tinggi, dan media massa.
Sebelum tahun 1970-an  terbit Majalah Indonesia (1948), Arena, Patriot, Sastra, Gadjahmada, Seriosa, dan Minggu Pagi (1945). Minggu Pagi di samping memuat artikel  umum juga memuat cerita pendek dan cerita bersambung  karya Nasjah Djamin, Rendra, Motinggo Busje, serta Bastari Asnin.
Cerita bersambung dalam Minggu Pagi, "Hilanglah Si Anak Hilang" (Nasjah Djamin), dimuat sekitar tahun 1959-1960 Â mendapat sambutan hangat dari pembaca. Pada tahun 1950-1960-an, terbit majalah Pesat dan majalah Budaya. Kedua majalah tersebut memuat tulisan berupa artikel sastra, drama, sajak, dan masalah masalah kebudayaan.
Satu tahun kemudian (15 Agustus 1951) hadir majalah Basis. Selain memuat artikel budaya dan sastra, Â memuat pula sajak-sajak penyair Yogyakarta. Majalah kebudayaan yang terbit kemudian adalah Citra Yogya (12 Desember 1987), secara khusus memuat artikel kebudayaan umum, kesenian, sastra, dan puisi.Â
Penerbitan berbagai surat kabar/majalah di Yogyakarta memberi andil cukup besar bagi perkembangan sastra di Yogyakarta. Pernyataan ini  didukung oleh tujuan penerbitan  yang tidak dapat dielakkan dari idealisme  memelihara dan mengembangkan kebudayaan; upaya  mengetengahkan wawasan kota Yogyakarta terhadap perkembangan kebudayaan.
Di samping penerbitan majalah/surat kabar, dinamika kehidupan sastra Indonesia di Yogyakarta diramaikan  penerbitan berbagai antologi cerpen dan puisi lewat institusi/lembaga tertentu. Beberapa antologi puisi yang patut dicatat adalah Sajak-sajak Manifes, Tugu, Risang Pawestri,  Genderang Kurusetra, Biarkan Kami Bermain, Tujuh Penyair Yogya Baca Puisi, dan Melodia Rumah Cinta.Â
Penerbitan antologi cerpen tidak sebanding dengan penerbitan antologi puisi yang  begitu marak. Beberapa antologi cerpen yang hadir antara lain Kejantanan di Sumbing (Subagio Sastrowardojo, 1965); Perjanjian dengan Setan (Djajak Md., 1978); Malam Putih (Korrie Layun Rampan, 1978); la Sudah Bertualang (Rendra, 1960-an); Lelaki Berkuda dan Di Tengah Padang (keduanya karya Bastari Asnin, 1960-an). Penerbitan antologi cerpen baru gencar sekitar tahun 1980-an.
Dalam kehidupan masyarakat, tentu ada orang/lembaga yang tergerak menjadi pengayom kegiatan kesenian (sastra). Kepengayoman tersebut antara lain berupa bantuan untuk penulisan, penerbitan, dan pemberian hadiah karya sastra.Â
Pengertian pengayom adalah orang atau lembaga yang bertindak sebagai pendukung/pelindung (dalam pengertian luas) dalam menggiatkan olah kesastraan.
Pengayom berpartisipasi dalam memberikan dukungan material terhadap kelangsungan kegiatan bersastra. Pengayom dalam kegiatan pengembangan (penerbitan) cerpen  di Yogyakarta mempunyai latar belakang orientasi berbeda-beda sehingga dukungan yang diberikan pun tidak sama.Â
Situasi ini tercermin dalam tujuan pengayoman,  terbagi dalam tiga klasifikasi:  keinginan menerbitkan buku  karya cerpenis Yogyakarta, menumbuhkan kreativitas dalam berkesastraan dengan mengadakan lomba penulisan cerita pendek, dan  menaruh perhatian kepada dua kegiatan tersebut, seperti yang dilakukan Taman Budaya, Panita Festival Kesenian Yogyakarta, dan Dewan Kesenian Yogyakarta.
Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pengayom dapat berupa pemberian penghargaan atau  ruang bagi perkembangan sastra (khususnya cerita pendek) di Yogyakarta.
Pada bulan Januari 1989, misalnya, Taman Budaya Yogyakarta menyelenggarakan Lokakarya Penulisan Puisi dan Cerita Pendek untuk meningkatkan keterampilan teknis dan memperluas wawasan para penulis dan calon penulis  di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Karya-karya pemenang lomba tersebut oleh Taman Budaya Yogyakarta dipublikasikan sekaligus didokumentasikan lewat penerbitan antologi. Kehadiran antologi ini diharapkan  bermanfaat  guna melihat seberapa jauh perkembangan seni sastra di Yogyakarta.
Panitia Festival Kesenian Yogyakarta (1992) dan Penerbit Bentang memberikan kepengayoman dalam kehidupan sastra di Yogyakarta dengan menyadari bahwa kehidupan kesastraan selalu mengalami pasang  surut. Alat ukur pasang naik dan surutnya kehidupan kesastraan bermacam-macam. Dapat diukur lewat ramainya para sastrawan melempar isu-isu kesenian atau kebudayaan ke media massa. Atau diukur lewat event-event sastra dan penerbitan antologi puisi atau cerpen.  Penerbitan buku Ambang: Antologi Puisi dan Cerpen dimaksudkan menjaga semangat berkarya dari sastrawan muda Yogyakarta.
Penerbitan antologi Guru Tarno (1994) merupakan hasil kerja sama antara Harian Bernas Yogyakarta dan Penerbit Bigraf. Penerbitan antologi dilatarbelakangi  kesadaran redaktur Bernas akan arti penting karya sastra (cerita pendek) yang dimuat di koran.Â
Sastra koran memiliki posisi dan makna strategis bagi keseluruhan perkembangan sastra Indonesia. Sastra koran lebih mudah menjalin komunikasi dengan pembaca. Dengan demikian, redaktur Harian Bernas Yogyakarta menyadari  makna strategis sastra koran adalah mengurangi bahkan menghilangkan kemungkinan terjadinya keterasingan karya sastra di tengah masyarakat.
Mengingat begitu tingginya nilai positif sastra koran dan keterbatasan usia koran yang relatif pendek, redaktur Harian Bernas Yogyakarta berinisiatif mengumpulkan cerita pendek yang pernah dimuat di Harian Bernas ke dalam antologi.
Yayasan Untuk Indonesia (YUI) menerbitkan antologi Parta Krama (1997) dalam rangka menandai masa pensiun Umar Kayam. Penerbitan ini berangkat dari pemikiran bahwa Umar Kayam merupakan salah seorang budayawan terpenting di Indonesia. Â Tema ketidakberdayaan "wong cilik" terhadap kekuasaan yang menjadi terlalu besar dan semakin sulit untuk dijangkau, menjadi tema pilihan Umar Kayam.
Kesadaran menerbitkan  kumpulan cerpen ibarat seorang musyafir berjalan di padang tandus, jauh dari popularitas-apa lagi materi-tidak membuat surut niat Kalika menerbitkan kumpulan cerpen Percakapan Patung Buldan (Arwan Tuti Artha). Kumpulan cerpen ini diberi judul Percakapan Patung Buldan dengan melihat kenyataan bahwa di dunia yang semakin riuh, orang sudah tidak lagi punya teman berdialog, berbagi rasa atau ngudar rasa. Orang sudah kehilangan ruang dan waktu  berdialog dengan dirinya sendiri, apalagi dengan orang lain.
Kehidupan sastra di Yogyakarta menjadi dinamis karena adanya peran pengayom, Â terlihat dalam aktivitas penerbitan karya sastra, baik dalam media massa (koran dan majalah) maupun dalam bentuk buku terbitan (antologi) serta memberi motivasi dan penghargaan sastra bagi penulis yang berprestasi.
*Herry Mardianto
Rujukan: Prosiding BBY, 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H