Situasi ini tercermin dalam tujuan pengayoman,  terbagi dalam tiga klasifikasi:  keinginan menerbitkan buku  karya cerpenis Yogyakarta, menumbuhkan kreativitas dalam berkesastraan dengan mengadakan lomba penulisan cerita pendek, dan  menaruh perhatian kepada dua kegiatan tersebut, seperti yang dilakukan Taman Budaya, Panita Festival Kesenian Yogyakarta, dan Dewan Kesenian Yogyakarta.
Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pengayom dapat berupa pemberian penghargaan atau  ruang bagi perkembangan sastra (khususnya cerita pendek) di Yogyakarta.
Pada bulan Januari 1989, misalnya, Taman Budaya Yogyakarta menyelenggarakan Lokakarya Penulisan Puisi dan Cerita Pendek untuk meningkatkan keterampilan teknis dan memperluas wawasan para penulis dan calon penulis  di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Karya-karya pemenang lomba tersebut oleh Taman Budaya Yogyakarta dipublikasikan sekaligus didokumentasikan lewat penerbitan antologi. Kehadiran antologi ini diharapkan  bermanfaat  guna melihat seberapa jauh perkembangan seni sastra di Yogyakarta.
Panitia Festival Kesenian Yogyakarta (1992) dan Penerbit Bentang memberikan kepengayoman dalam kehidupan sastra di Yogyakarta dengan menyadari bahwa kehidupan kesastraan selalu mengalami pasang  surut. Alat ukur pasang naik dan surutnya kehidupan kesastraan bermacam-macam. Dapat diukur lewat ramainya para sastrawan melempar isu-isu kesenian atau kebudayaan ke media massa. Atau diukur lewat event-event sastra dan penerbitan antologi puisi atau cerpen.  Penerbitan buku Ambang: Antologi Puisi dan Cerpen dimaksudkan menjaga semangat berkarya dari sastrawan muda Yogyakarta.
Penerbitan antologi Guru Tarno (1994) merupakan hasil kerja sama antara Harian Bernas Yogyakarta dan Penerbit Bigraf. Penerbitan antologi dilatarbelakangi  kesadaran redaktur Bernas akan arti penting karya sastra (cerita pendek) yang dimuat di koran.Â
Sastra koran memiliki posisi dan makna strategis bagi keseluruhan perkembangan sastra Indonesia. Sastra koran lebih mudah menjalin komunikasi dengan pembaca. Dengan demikian, redaktur Harian Bernas Yogyakarta menyadari  makna strategis sastra koran adalah mengurangi bahkan menghilangkan kemungkinan terjadinya keterasingan karya sastra di tengah masyarakat.
Mengingat begitu tingginya nilai positif sastra koran dan keterbatasan usia koran yang relatif pendek, redaktur Harian Bernas Yogyakarta berinisiatif mengumpulkan cerita pendek yang pernah dimuat di Harian Bernas ke dalam antologi.
Yayasan Untuk Indonesia (YUI) menerbitkan antologi Parta Krama (1997) dalam rangka menandai masa pensiun Umar Kayam. Penerbitan ini berangkat dari pemikiran bahwa Umar Kayam merupakan salah seorang budayawan terpenting di Indonesia. Â Tema ketidakberdayaan "wong cilik" terhadap kekuasaan yang menjadi terlalu besar dan semakin sulit untuk dijangkau, menjadi tema pilihan Umar Kayam.
Kesadaran menerbitkan  kumpulan cerpen ibarat seorang musyafir berjalan di padang tandus, jauh dari popularitas-apa lagi materi-tidak membuat surut niat Kalika menerbitkan kumpulan cerpen Percakapan Patung Buldan (Arwan Tuti Artha). Kumpulan cerpen ini diberi judul Percakapan Patung Buldan dengan melihat kenyataan bahwa di dunia yang semakin riuh, orang sudah tidak lagi punya teman berdialog, berbagi rasa atau ngudar rasa. Orang sudah kehilangan ruang dan waktu  berdialog dengan dirinya sendiri, apalagi dengan orang lain.
Kehidupan sastra di Yogyakarta menjadi dinamis karena adanya peran pengayom, Â terlihat dalam aktivitas penerbitan karya sastra, baik dalam media massa (koran dan majalah) maupun dalam bentuk buku terbitan (antologi) serta memberi motivasi dan penghargaan sastra bagi penulis yang berprestasi.
*Herry Mardianto
Rujukan: Prosiding BBY, 2012.