Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sastra Pasemon: Guyon Maton Krishna Mihardja Soal Politik

14 Desember 2022   11:39 Diperbarui: 14 Desember 2022   11:47 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler


Goenawan Mohammad menyatakan bahwa sastra merupakan pasemon, sindiran halus yang menyarankan sesuatu yang bukan sebenarnya, tetapi mendekati sifat tertentu.

Beberapa karya Krishna Mihardja (pensiunan guru Matematika, sastrawan)  berupa cerita pendek berbahasa Jawa (cerkak) menunjukkan fenomena menarik dengan menampilkan peristiwa keseharian lewat penyelesaian cerita yang terkadang mengagetkan pembaca. 

Beberapa cerita Krishna diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dimuat dalam Kompas dan majalah Horison.  Cerpen "Sandal Jinjit" (Kompas) dinilai Afrizal Malna sebagai  karya sederhana dengan keinginan kuat memperlihatkan biaya-biaya sosial yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan performa dari sebuah birokrasi pedesaan  bernama kelurahan.

 Di sisi lain, ada yang menilai  cerpen Krishna Mihardja sebagai karya surealis pasemon.
Krishna Mihardja merefleksikan renungan filosofis khas Jawa dengan formula surealistik yang kental, identik dengan ironi dan kritik sosial  cukup tajam dan nylekit. Berbeda dengan  karya sastra Jawa  yang acapkali terperangkap dalam konvensi lembah manah, tata krama, bersifat adiluhung, dan nguri-uri kabudayan Jawa.

Pemahaman terhadap cerpen Krishna Mihardja sebaiknya    berangkat dari  keyakinan bahwa  sastra merupakan pasemon,  menampakkan hubungan yang bebas dengan realitas. Atau  bisa  dilakukan dari perspektif sastra sebagai resistensi terhadap hegemonisasi negara dan pembangunan. Dengan demikian,  sedikit banyak akan menyinggung pemahaman mengenai negara dan pembangunan.

Pembangunan oleh para penyelenggara negara (penguasa) dianggap sebagai sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan. Asumsi tersebut membawa konsekuensi bahwa pembangunan menjadi terlalu suci untuk dikritik dan tidak relevan  dievaluasi.

Pembangunan hanya menuntut kesetiaan, ketaatan, dan bahkan pembelaan dari masyarakat.

Sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang bersifat protes atas pembangunan dikategorikan sebagai sikap anti pembangunan,  lebih ekstrim  dianggap sebagai penyimpangan ideologis sehingga termasuk  subversif. Walau demikian, bukan berarti tidak ada  kritik yang menggugat eksistensi negara dan pembangunan.
Resistensi terhadap negara dan pembangunan  tidak ditampilkan secara langsung dan transparan, tetapi lewat karya sastra   sebagai pasemon.

Dalam pasemon, makna hadir mewakili sesuatu yang hanya bisa muncul dalam suatu konteks, dalam perbandingan dengan suatu keadaan atau dengan suatu ekspresi lain yang pernah ada. Dengan kata lain, makna tersebut hadir bukan dengan menceritakan sesuatu sebagaimana adanya, tetapi dengan menceritakan sesuatu yang lain dari yang sebenarnya hendak dikatakan.

Dengan sifatnya yang fiktif, sastra pada hakikatnya merupakan suatu bentuk sistem interpretatif. Kenyataan ini membawa konsekuensi bahwa sastra dianggap lebih mampu melindungi diri dari tindakan-tindakan represif.

Di tengah atmosfir politik berwajah represif (Budiawan), karya-karya sastra (di) Indonesia tampil sebagai resistensi terhadap hegemonisasi negara dan pembangunan yang hendak dimapankan; dalam karya-karya sastra tertentu "menjadi sesuatu" yang digugat, dipersoalkan.
Krishna Miharja menghadirkan karya sastra berisi gugatan terhadap pemapanan kekuasaan negara, teralienasinya masyarakat dalam pembangunan. 

Hal ini setidaknya terlihat dalam "Horn", "Sapari", dan "Sandal Jinjit".
Dari ketiga cerkak tersebut, "Horn" secara lebih jelas memperlihatkan proses teralienasinya masyarakat dalam pembangunan. Cerkak "Horn" mengisahkan kegigihan kepala dusun Jayareja memasang horn (pengeras suara) di wilayahnya dengan tujuan  memudahkan masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan.
Secara signifikan, horn (goraswara) merupakan simbol kemajuan, upaya perluasan kekuasaan sekaligus penenggelaman nilai-nilai humanis dengan dominannya nilai materialistik (kepercayaan kepada horn).

Pemuliaan terhadap teknologi canggih (horn) menimbulkan pelecehan-pelecehan terhadap nilai-nilai romantisme dan intuisi-intuisi tradisional: horn sudah tidak lagi menyuarakan azan, tidak pernah memberitakan kabar lelayu (berita duka kematian), dan tidak pernah mewartakan adanya warga yang sakit.

Sebaliknya, masyarakat diarahkan kepada titik depresi fase relatif dengan  upaya penyeragaman suara lewat horn. Penyeragaman tersebut berupa pengedepanan retorika-retorika pembangunan yang ekspansif untuk mengakumulasikan loyalitas masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun