Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sastra Pasemon: Guyon Maton Krishna Mihardja Soal Politik

14 Desember 2022   11:39 Diperbarui: 14 Desember 2022   11:47 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Menguatnya artikulasi birokrasi lewat kepala dusun dengan horn-nya dan melemahnya suara masyarakat memperlihatkan kekuasaan  bercorak hegemonik serta tenggelamnya identitas masyarakat. Kondisi ini sebenarnya sudah dibentuk pada bagian awal cerita dengan adanya depolitisasi argumen.

Gugatan terhadap "kekuasaan" dalam pengertian demokrasi, diletakkan dalam klimaks cerkak "Horn" dengan gaya plesetan ketika Pakdhe Darmo Karsi meninggal dunia. Matinya Pakdhe Darmo Karsi (baca: demokrasi) merupakan ironi bagi kekuasaan  besar di dusun Jayareja. Kekuatan yang demikian besar  dan dominan, tiba-tiba berubah menjadi sosok  tidak jelas: baik kepala desa maupun masyarakat tidak mengenal dengan baik hakikat demokrasi. Hal ini sesungguhnya menggambarkan ketidaksejajaran antara penguasa dan yang dikuasai sehingga menimbulkan krisis.
Cerkak "Sapari" mempunyai warna senada dengan "Sandhal Jinjit", keduanya mempunyai keinginan kuat  memperlihatkan biaya-biaya sosial (dan ekonomi) yang tinggi untuk mencapai kedudukan sebagai elite tertentu dalam kehidupan masyarakat. 

Dalam "Sapari", meskipun semula Pak Marto (guru) tidak berkenan memakai baju safari-karena dia beranggapan bahwa baju safari lebih cocok untuk para birokrat-dengan adanya tekanan dari kepala sekolah-akhirnya ia terpaksa mengenakan baju safari. Safari merupakan baju pemberian kepala sekolah demi performa dari sebuah birokrasi pendidikan. Kondisi ini tercipta karena birokrasi  merupakan sebuah pentas. Jika dalam "Sandhal Jinjit" pentas birokrasi melibatkan hampir seluruh sumber keuangan desa yang dikelola oleh seorang lurah-karena sandhal jinjit ternyata sama dengan televisi, kulkas, taman di teras rumah, mobil, dan pakaian bagus; maka dalam "Sapari" baju safari  sama dengan sepatu Itali, tas kulit, serta motor,  menguras habis gaji seorang guru rendahan.

 Narasi yang ditawarkan kedua cerkak tersebut memperlihatkan satu kesamaan: jatuhnya pegawai pemerintahan karena materi (sandhal jinjit dan baju safari). Hanya saja penggambaran dalam "Sandhal Jinjit" terasa lebih sederhana, tidak terlalu melibatkan artikulasi birokrasi maupun wacana kekuasaan. 

Di dalam "Sapari" kedua sisi itu  sudah tergambar dalam pembukaan cerita. Signifikasi Pak Marto dan setelan safari pada awalnya merupakan dunia kontradiksi, perlawanan antara yang dikuasai dan yang menguasai. Kekalahan Pak Marto adalah kekalahan terhadap hegemoni yang memproduksi simbol-simbol kewibawaan politik penguasa lewat baju safari. Baju safari merupakan patronship yang harus ditaati, dihormati, dan pantang ditentang-elite politik dan massa rakyat saling membutuhkan semacam pengertian melalui proses kekuasaan dan legitimasi.

Matinya demokrasi (dalam "Horn") dan kekacauan pikiran Pak Marto setelah memakai setelan safari (dalam "Sapari") secara signifikan merupakan puncak gugatan terhadap pemapanan kekuasaan; simbolisasi dari klimaks pembusukan politik (political decay).

Dalam konteks Indonesia Orde Baru, "Horn" dapat dipahami sebagai gugatan atas ditabukannya perbedaan suara dalam upaya pemapanan kekuasaan.

Di samping itu, baik "Horn" maupun "Sapari" sarat dengan pasemon  kejadian-kejadian di Indonesia--walaupun pengungkapan dalam karya fiksi tidak akan sama persis. "Horn" berkorelasi dengan tuntutan balas jasa  atas kebaikan penguasa, tuntutan terhadap loyalitas  suksesi yang selalu dikaitkan dengan suara kebulatan tekad dan azas tunggal-presiden Soeharto pernah menyatakan bahwa peralihan kepemimpinan harus tanpa guncangan.

Kebulatan tekad disignifikasikan lewat horn yang menteror rakyat agar mengakui keberhasilan pembangunan: semakin berkurangnya jumlah orang miskin, meningkatnya kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, keberhasilan paket belajar membaca, dan sebagainya. Semua terjadi berkat adanya horn (signifikasi penguasa) yang berpengaruh kuat di pedesaan (Jayareja), bahkan dominasi horn ditunjukkan oleh pernyataan sikap sebagian besar masyarakat bahwa horn merupakan punjering sakabehe obah-masiking panguripane warga,  pusat dari perubahan hidup masyarakat.

Cerkak "Sapari" berisi pasemon menyangkut terminologi bapakisme  yang menunjukkan  sistem hubungan sosial yang kompleks. Dalam sistem bapakisme, "bapak" (patron) dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan spiritual. Kekalahan Pak Marto melegitimasi pernyataan bahwa di dalam sistem bapakisme, anak buah (clients) harus berani mempertaruhkan segala sesuatu demi kepentingan sang bapak.

Kesedian Pak Marto memakai baju safari merupakan perwujudan konsep bahwa penguasa harus selalu dihormati, ditaati, dan pantang  ditentang. Kekacauan pikiran yang dialami Pak Marto merupakan klimaks bentuk pengorbanan yang dilakukan demi kebaikan baju safari (tuntutan penguasa).

Cerkak "Horn" dan "Sapari" (di samping "Sandhal Jinjit") merupakan sebagian kecil (dari puluhan bahkan ribuan cerpen di Indonesia) yang dipenuhi dengan pasemon. Ketiga cerkak tersebut sama sekali tidak berpretensi menawarkan solusi, tetapi lebih sebagai suatu resistensi terhadap hegemoni negara dan pembangunan. Dengan demikian, dunia sastra memberi alternatif bahwa realitas itu tidak tunggal.


*Herry Mardianto
Rujukan: Widyaparwa, Cakrawala MP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun