Mohon tunggu...
Herry Darwanto
Herry Darwanto Mohon Tunggu... Freelancer - Ingin menikmati hidup yang berkualitas

Penyuka musik keroncong & klasik, gemar berkebun, penggemar jajan pasar

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Yuk Kita Revisi UU Pemilu

5 Mei 2019   09:11 Diperbarui: 5 Mei 2019   09:15 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: beritasatu.com

Sistem Pemilu serentak seperti yang baru saja dilakukan, terbukti kurang begitu ideal.

Pertama, pilpres dan pileg yang disatukan membuat pemilih lebih memerhatikan paslon capres/cawapres katimbang caleg DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD.

Jumlah caleg yang banyak, membuat publik sulit memerhatikan mereka secara individual. Jika setiap tingkatan pemerintahan rata-rata ada 10 calon dari setiap partai (total ada 14 partai), maka ada 140 caleg yang mesti dibanding-bandingkan untuk dipilih salah satunya. 

Pembandingan itu harus dilakukan untuk 3 tingkatan pemerintahan. Hal yang sama dilakukan juga untuk DPD, yang jumlah calonnya bahkan lebih banyak.

Sulit dibayangkan seorang pemilih bisa membandingkan begitu banyak caleg dengan seksama. Maka yang paling mudah dilakukan adalah menentukan partai yang disukai untuk setiap kategori (atau kartu suara saat di bilik TPS), lalu memilih caleg yang paling diketahuinya yang umumnya caleg petahana atau public figures seperti artis.

Manakala caleg demikian tidak ada, maka ia akan memilih caleg secara acak/sembarang, atau menusuk gambar partai saja, atau menusuk caleg di urutan peci, bukan di urutan sepatu. Jelas ini bukan cara memilih yang benar, karena calon terbaik belum tentu ada di partai yang disukainya dan belum tentu juga ada di urutan teratas.

Kedua, karena perhatian publik tertuju pada paslon capres/cawapres, maka caleg akan kesulitan untuk mencari kesempatan untuk kampanye. Ia dapat saja nebeng pada acara kampanye pilpres, namun kesempatan itu pun sangat terbatas karena caleg dari partainya dan dari partai koalisi lain juga menggunakan kesempatan yang sama. Akibatnya, para caleg susah untuk memperkenalkan diri dan menjual program-programnya.

Ketiga, caleg dari partai pengusung capres diuntungkan dengan adanya efek ekor jas (coat tail effect). Karena pemilih suka pada capres maka ia juga cenderung suka pada partai pengusungnya. Tanpa efek ini, publik akan mendapat caleg yang lebih baik karena dipilih secara lebih rasional, daripada sekedar karena prinsip analogi.

Keempat, partai-partai anggota koalisi menjadi terbelah perhatiannya, antara mengkampanyekan capres/cawapres yang didukung atau mengkampanyekan caleg-calegnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun