Siapapun yang pernah bermukim di kota Jakarta pasti pernah terjebak kemacetan. Setiap keluar dari kompleks perumahan pada pagi hari antrian panjang kendaraan sudah mengular. Di jalan yang lebih besar kemacetan bertambah parah. Bahkan di jalan tol dalam kota, kecepatan kendaraan pada jam-jam sibuk seringkali jauh dibawah kecepatan minimal yang ditetapkan. Kemacetan masih menjadi bagian dari kehidupan warga Jakarta dan sekitarnya.
Penyebab kemacetan sudah jelas, yaitu jumlah mobil dan motor yang melebihi kapasitas jalan-jalan yang ada. Ini karena angkutan umum cepat massal masih sangat terbatas kuantitas dan persebarannya. Hanya 24% dari 10 juta penghuni Jakarta yang menggunakan angkutan umum, selebihnya menggunakan kendaraan pribadi roda 2 atau roda 4.
Mengatasi kemacetan Jakarta tentu sudah sejak lama diupayakan. Kereta api cepat massal (MRT) baru saja dioperasikan. Sebelumnya, transportasi berbasis bus dengan jalur khusus (busway) sudah melayani kebutuhan perjalanan penduduk Jakarta. Namun tetap saja kemacetan masih belum terurai. Banyak orang masih menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi ke tempat kerja dan mengantar anak ke sekolah.
Ke depan, Jakarta semakin banyak menampung penduduk yang pindah dari daerah-daerah. Kebutuhan perjalanan akan semakin besar. Tanpa ada upaya yang lebih serius, seperti saat mengambil keputusan membangun jalur busway, MRT dan LRT dahulu, maka kemacetan Jakarta dan wilayah sekitarnya akan semakin parah.
Padahal kelancaran perjalanan menentukan penghasilan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, khususnya kelancaran distribusi barang. Bappenas menghitung bahwa kemacetan di Jakarta menyebabkan kerugian sebesar Rp 67 triliun per tahun. Angka ini belum memasukkan kerugian akibat kemacetan di wilayah Bodetabek. Mengatasi kemacetan dengan demikian akan menguntungkan ekonomi makro dan mikro, ekonomi negara dan ekonomi penduduk.
Lantas apa solusinya?
Dua hal ini patut dipertimbangkan dengan serius. Pertama, membentuk otoritas transportasi dengan kewenangan mengatur tetek bengek urusan transportasi se wilayah Jabodetabek dengan berbagai sektor yang terkait. Kewenangan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yang ada saat ini masih terbatas, sehingga belum dapat mengimplementasikan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
BPJT perlu ditingkatkan kewenangannya menjadi setingkat menteri dan berada langsung di bawah Presiden. Dengan demikian lembaga ini bisa menguraikan banyak keruwetan yang muncul akibat kewenangan pemda dan instansi pemerintah pusat yang cenderung mengutamakan kepentingan masing-masing. Anggaran yang lebih besar dan kewenangan yang lebih luas akan membuat BPJT yang baru akan lebih mudah mengimplementasikan Rencana Induk tadi hingga ke wilayah-wilayah permukiman.
Perlu dicatat bahwa kewenangan untuk 'mengatur' tidak sama dengan kewenangan untuk 'mengeksekusi'. Untuk itu maka perlu dilakukan hal penting kedua, yaitu melibatkan swasta (dengan skala yang lebih besar daripada yang dimiliki saat ini) dalam pengoperasian sarana transportasi di wilayah Jabodetabek.
Swasta akan bersedia berinvestasi membangun jalur kereta api layang atau bawah tanah dari satu titik ke titik lain di dalam kota Jakarta dan di wilayah Jabodetabek karena prospeknya yang menguntungkan jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan di area stasiun dengan pola TOD (transport oriented development).