Mohon tunggu...
Herry Darwanto
Herry Darwanto Mohon Tunggu... Freelancer - Ingin menikmati hidup yang berkualitas

Penyuka musik keroncong & klasik, gemar berkebun, penggemar jajan pasar

Selanjutnya

Tutup

Money

Globalisasi Berubah Arah, Siapa Peduli?

9 April 2019   19:56 Diperbarui: 9 April 2019   20:18 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: thelastamericanvagabond.com

Selama 40 tahun terakhir ini, perekonomian dunia menunjukkan penurunan dalam hambatan perdagangan antarnegara. Pertumbuhan ekonomi dunia meningkat, kemiskinan global menurun. Namun tren panjang itu kini sedang berbelok arah. Globalisasi agak terganggu karena meningkatnya hambatan, baik tarif impor maupun hambatan non-tarif. Perdagangan global menjadi tersekat-sekat.

Perubahan tren itu dipengaruhi oleh tiga proses besar, yaitu keluarnya Inggris dari Uni Eropa, memanasnya sengketa dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, dan perubahan kesepakatan perdagangan antara AS, Kanada dan Meksiko (dulu disebut NAFTA).

Penyebab awal pembelokan arah globalisasi itu adalah kebijakan perdagangan yang diambil oleh pemerintah AS dibawah Presiden Donald Trump dan kehendak mayoritas rakyat  Inggris yang memilih keluar dari Uni Eropa dalam referendum yang hasilnya mengejutkan pada tahun lalu.

Kebijakan Presiden AS itu agaknya tidak terlepas dari kinerja perdagangan AS dengan China yang tidak seimbang. China mengekspor barang dan jasa ke AS sebanyak 4 persen dari PDBnya, namun hanya mengimpor dari AS sebesar 1 persen dari PDBnya. 

Sebaliknya, AS mengekspor barang dan jasa dari China sebanyak 1 persen dari PDBnya namun mengimpor 3 persen dari PDBnya. Artinya manfaat yang diperoleh China lebih besar daripada manfaat yang diperoleh AS. Maka Donald Trump menggertak China, akan mengenakan tarif impor tambahan terhadap barang-barang impor dari China senilai US$ $250 miliar pada tahap pertama. Saat ini sedang dilakukan perundingan untuk mencegah ancaman itu terwujud.

Menurut IMF, perang dagang AS-China itu dapat mengurangi 1,6 persen PDB China dan 1 persen PDB AS pada tahun 2020. Dampak yang berat akan dirasakan oleh perusahaan, daerah atau kelompok industri tertentu. Pada tahun 2016 ada 500 ribu perusahaan milik asing di China. Sekitar 40 persen ekspor China diproduksi oleh perusahaan milik asing atau patungan antara perusahaan China dan perusahaan asing.

Perusahaan elektronik dan permesinan China akan terkena dampak paling parah dari sengketa dagang, termasuk perusahaan asing yang ada di China. Sebagian perusahaan ini akan pindah ke negara-negara berkembang untuk menghindari tarif impor yang tinggi untuk masuk ke AS.

Di pihak lain, China membalas AS dengan menaikkan tarif impornya, yang akan menambah biaya produksi bagi perusahaan AS. Sekitar 29 persen ekspor China ke AS berupa barang setengah jadi yang digunakan untuk membuat produk konsumsi dalam negeri dan untuk ekspor. Karena biaya produksi meningkat maka harga jual juga akan naik, dan selanjutnya perkembangan industri di AS akan terganggu.

Beberapa kota industri akan terkena dampak dari penurunan produksi ini. Perusahaan manufaktur akan harus menyesuaikan kegiatan operasionalnya agar tidak mengalami kerugian atau harus mengurangi jumlah karyawan. Volvo dan BMW membatalkan rencana untuk mengekspor mobil yang dibuat di Karolina Selatan ke China. Perusahaan lain mengubah desain produk ekspor untuk menyiasati kenaikan tarif impor di China.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun