Eindhoven adalah kota terbesar kelima di Belanda dengan jumlah penduduk 223.220 pada bulan Januari 2015. Â Awalnya tumbuh sebagai pusat perdagangan tembakau dan tekstil, kemudian berkembang menjadi kota industri dengan didirikannya pabrik lampu Philips pada tahun 1891 oleh dua bersaudara Gerard dan Anton Philips. Pabrik truk Van Doorne's Automobiel Fabriek (DAF) juga kemudian berdiri, disusul dengan banyak industri-industri lain yang berkaitan.
Banyaknya industri dari skala kecil hingga perusahaan multinasional skala besar menjadikan Eindhoven dan sekitarnya menjadi kota industri terkemuka di Belanda, dengan spesialisasi pada bidang mekatronika, robot, Â dan teknologi biomedika.
Saat ini sekitar seperlima jumlah pekerja bekerja di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Lembaga-lembaga riset dan perguruan tinggi menyerap cukup besar dana penelitian di Belanda, sepertiga dari seluruh dana riset nasional pada tahun 2005. Eindhoven adalah salah satu pusat riset dari European Institute of Innovation and Technology (EIT) yang berada di bawah manajemen Uni Eropa.
Keunggulan Eindhoven dalam industri maju diakui dunia dengan pemberian penghargaan sebagai Intelligent Community of the Year 2011 oleh Intelligent Community Forum (ICF). ICF adalah jaringan kota-kota internasional yang bermisi membantu pemerintah kota menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mewujudkan kemakmuran yang inklusif, mengatasi tantangan sosial dan kepemerintahan, dan memperkaya kualitas kehidupan kota.
Menjadi Kota Majemuk
Industri berbasis teknologi tinggi menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi Eindhoven, yang tahun lalu tumbuh 3,6%. Pertumbuhan ini didorong oleh banyaknya inovasi dari hasil kolaborasi industri, perguruan tinggi dan pemerintah (dikenal dengan istilah Triple Helix). Inovasi tumbuh subur di Eindhoven karena didukung oleh ilmuwan, insinyur, dan profesional yang memadai.
Namun karena pasokan lokal tidak mencukupi, maka banyak perusahaan dan lembaga riset di Eindhoven banyak menerima dan mencari tenaga terampil dari negara-negara lain. Hal ini menjadikan Eindhoven kota majemuk dengan aneka suku bangsa.
Statistik menyebutkan sekitar 30% pekerja adalah keturunan asing (lahir di negara lain atau salah satu orang tuanya bukan orang Belanda). Sekitar 11,1% penduduk berasal dari negara-negara Eropa, termasuk dari Eropa Timur (2%). Selebihnya (17,5%) berasal dari negara-negara non-Eropa seperti Turki (4,7%), Maroko (2,6%) dan Suriname (1,7%).
Kemajemukan Eindhoven terlihat dari agama yang dianut penduduknya: Katolik Roma (36,9%), Muslim (8%), Dutch Reformed (2,5%), Protestan lain (2,4%), Hindu (0,8%), Budha (0,5%), lainnya (3,9%). Selebihnya tidak beragama (45%).
Gambaran lain yang cukup menonjol adalah bahwa porsi pekerja perempuan di Eindhoven cukup tinggi (sekitar 45% untuk wilayah metropolitan).
Mengelola Kemajemukan
Menurut Bruno Lanvin (2018) kunci mengelola kemajemukan di Eindhoven adalah sebagai berikut.
1. Adanya kebutuhan untuk memahami budaya asing. Pemerintah dan warga kota Eindhoven memahami bahwa pekerja asing adalah kebutuhan bagi kota yang semakin maju. Perusahaan-perusahaan ekspor perlu memahami negara yang menjadi pasar bagi produknya. Perusahaan-perusahaan juga perlu mengimpor bahan baku dan setengah jadi dari negara-negara lain dengan latar belakang yang berbeda. Semua hal itu menuntut perlunya penduduk lokal memahami budaya asing.
2. Selain penghasilan yang tinggi dan bidang kerja sesuai profesi, lingkungan kehidupan di Eindhoven juga memberikan kenyamanan bagi pendatang. Untuk bisa membuat pendatang betah menetap, kualitas hidup kots dibuat sebaik mungkin, antara lain sistem kesehatan dan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan reguler mudah diakses oleh para pendatang.
3. Keterampilan internasional merupakan bagian integral dari kurikulum sekolah, baik dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Ada lembaga khusus (Brainport Development) yang bertugas yang mengkoordinasikan pelaksanaan visi tersebut.
4. Masyarakat menyiapkan diri dengan belajar dan bekerja bersama dalam masyarakat yang multikultural. Anak-anak belajar bahasa internasional sejak usia 4 tahun. Berbagai tantangan lintas negara seperti perubahan iklim dan datangnya pengungsi menuntut masyarakat untuk bekerja bersama dan menerima perbedaan kultural.
Intinya, kemajemukan digunakan secara optimal dengan menyiapkan generasi zaman next menghadapi kehidupan bermasyarakat yang multikultural dan berubah cepat.
--o0o---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H