Gejolak politik yang memanas di Jerman pasca PD 1 karena kekalahan mereka dalam perang berbuntut panjang hingga munculnya organisasi-organisasi ekstrem kanan yang menuntut perubahan dan gebrakan. Termasuk dalam hal ini adalah gerakan Fasisme Jerman yang menekankan supremasi ras Arya. Di tengah periode kacau itu ternyata partai NAZI-lah yang berhasil naik ke tampuk kekuasaan tertinggi di Jerman. Gairah semangat fasisme Jerman ini juga tersebar ke Indonesia. Di bawa oleh orang-orang Belanda dan orang Indonesia yang pernah ke Jerman.
Fasisme di Hindia Belanda
Pengaruh NAZI Jerman ternyata turut tersebar ke negara-negara di sekitarnya, termasuk Belanda. Pada saat itu, di Belanda terdapat partai fasis besar bernama Nationaal-Socialistische Beweging (NSB) yang berdiri pada 1931.
Selain berdiri di Belanda, NSB juga membuka cabang di Hindia Belanda. Mereka menerima orang-orang Belanda sebagai anggota mereka dengan doktrin eksklusivitas dan superioritas orang Eropa. Dengan isu seperti itu, jumlah anggota mereka di Hindia Belanda mencapai 2000 orang pada 1933.
Ide Yang Menarik
Ciri dan landasan dari fasisme yang menekankan pada superioritas kelompok, romantisme masa lalu, serta ultra-nasiolisme yang radikal menambah nuansa baru dalam dinamika politik dan ideologi di Hindia Belanda saat itu. Ide besar Fasisme ini ternyata menginspirasi seorang priyayi Jawa untuk mendirikan partai fasis Jawa yang mencoba untuk menggabungkan ide fasisme dengan nilai-nilai moral dan etika Jawa untuk mewadahi pemikiran dan semangatnya dalam pergerakan.
Pada Agustus 1933, Partai Fasis Indonesia (PFI) berdiri di Bandung. Digagas oleh Dr. Notonindito, yang merupakan bangsawan Jawa yang pernah mengenyam pendidikan ekonomi di Jerman pada 1924. PFI didirikan oleh Notonindito dengan landasan dan visi untuk menghidupkan kembali kejayaan Indonesia lewat romantisme kerajaan-kerajaan Jawa Kuno seperti Majapahit dan Mataram.
Terlalu Eksklusif
Ide yang dibawa oleh Dr. Notonindito ini ternyata mendapat banyak kecaman dari tokoh pergerakan lain pada masa itu. Dia dianggap memecah semangat persatuan dengan ide Jawasentrisnya. Bahkan dia sebut sebagai seorang Chauvinis Jawa.
Begitu kerasnya kritikan dan penolakan terhadap diri dan partainya membuat PFI yang baru berdiri langsung dibubarkan pada September 1933. Dr. Notonindito-pun menarik diri dari panggung politik saat itu dan namanya tidak pernah terdengar lagi dalam narasi sejarah Indonesia.